3 - Menikah

475 41 2
                                    

Dan ini lah aku, tinggal beberapa saat lagi statusku akan berubah menjadi seorang istri. Jujur aku masih tidak percaya dengan semua ini, diusiaku yang masih belia ini aku harus menikah.

Padahal sebelumnya tidak ada kata menikah muda dalam kamus hidupku, kalau bukan karena Ayah yang sedang sakit, aku tidak akan pernah menyetujui ini sebelumnya. Namun aku sudah melangkah sejauh ini, artinya aku juga harus menuntaskannya sampai akhir.

Kini aku masih berada didalam kamarku, diluar sana tepatnya diruangan keluarga seorang ustadz sedang menyampaikan khutbah nikah. Jantungku semakin berdegup kencang, saat terdengar suara Ayahku mengucapkan kalimat ijab qabul, lalu pemuda bernama Hanif itu menjawabnya dengan sangat lancar dan mantap.

Jika didengar dari suaranya itu, sepertinya dia sangat yakin sekali, padahal ia belum mengenalku sebelumnya. Tapi kenapa ia sangat yakin untuk menikahiku?, entahlah mungkin akan kutanyakan padanya nanti.

Ibu yang duduk disampingku memeluk tubuhku erat, mungkin ini akan menjadi kebersamaan kami berdua untuk yang terakhir kalinya. Karena aku akan segera membuka lembaran hidup yang baru. Air mata Ibu sudah tak terbendung lagi begitupun aku.

"Syifa jangan khawatir. InSyaAllah pemuda itu baik". Ucap Ibu sambil menatap wajahku.

"Tapi bu, apakah ini wajar? Syifa masih 17 tahun, tapi sudah menikah?".

"Dulu Rasulullah saw. Menikahi Sayyidina Aisyah saat berumur sembilan tahun, ibu dan ayah lebih tenang saat kamu sudah menikah. Jadi ada yang menjaga. Setelah ini ibu tidak akan was was lagi kalau kamu akan berpergian kemanapun" jelas ibu. Tapi benar juga sih. Tapi kan itu dulu, waktu zaman Rasulullah, sekarang kan sudah zaman gadget.  Tapi yasudah lah.

"Suamimu akan segera datang. Sambut dia dengan baik" sebelum keluar dari kamar Ibu mencium keningku cukup lama.

Aku mematut diriku didepan cermin. Tubuhku yang mungil ini sudah terbalut kebaya syar'i berwarna putih, rambut panjangku tertutup hijab, wajahku yang imut ini sudah dibubuhi make up, tidak terlalu tebal, tapi cukup membuatku semakin cantik.

Terdengar suara kenop pintu yang dibuka, setelahnya terdengar seseorang mengucapkan salam. Aku menjawab salam dengan suara yang pelan.

Duh, apa yang harus kulakukan, pemuda itu berjalan ke arah ku, semakin dekat dan semakin dekat. Dan aku semakin tidak berkutik, tubuhku rasanya kaku, kepalaku terus tertunduk kebawah. Mungkin ini yang dinamakan gugup.

Pemuda itu kini berdiri didepanku  yang masih terduduk di kursi riasku, aku masih belum berani menatap wajahnya, alhasil hanya sepatunya saja yang kutatap. Aduh, aku malu sekali.

"Ya zaujati"

Eh, bilang apa dia tadi?. Ya zaujati. Aku spontan mengangkat kepalaku, kulihat dia tengah tersenyum padaku. Ya Allah senyumnya manis sekali, damai sekali melihat senyumannya, waktu seakan berhenti berputar saat dia yang kini sudah sah menjadi suamiku, tiba tiba saja mendekatkan wajahnya ke wajahku, dan dia mencium keningku. 

Ibuuuu!!!! Aku semakin malu. Ini pertama kalinya ada seorang laki laki selain Ayah yang menciumku. Aku  semakin tidak bisa berkutik, diam seperti manequin hidup. Mungkin ekspresiku sekarang sangat unik, antara terkejut, bingung, malu dan gugup semua bercampur menjadi satu.

Setelah puas mencium keningku, ia membacakan do'a diatas ubun ubunku, entah do'a apa itu, aku hanya mengamini dalan hati. Tolong catat 'dalam hati' karena aku masih belum berani mengeluarkan suara.

Setelah selesai membacakan do'a diatas kepalaku. Dia berlutut dihadapanku. Dia mengambil sesuatu didalam saku celananya. Diambilnya sebuah kotak kecil berwarna merah, dan saat dibuka isinya adalah dua buah cincin perak, disamping cincin itu terdapat tulisan Asyifa & Hanif.

Kak Hanif memakaikan cincin itu di jari manisku, kutatap jari jari tangan kananku itu, di jari tengah juga terpasang sebuah cincin perak, Allah kenapa aku sampai lupa, cincin ini kan pemberian Rio aku lupa melepasnya. Bagaimana ini?. Buru buru aku melepas cincin itu, dan menyimpannya diatas meja rias.

Boleh kah aku memanggilnya kakak. Boleh dong? Daripada panggil nama tidak sopan. Kak Hanif nampaknya bingung sekali melihat kelakuanku itu. "Kenapa dilepas?" Tanyanya dengan lembut. Aku tidak sanggup berbicara, bibirku seperti terkunci, aku hanya menggelengkan kepalaku semoga saja ia mengerti.

Demi mengalihkan perhatiannya, aku berinisiatif meraih cincin yang satunya lagi, kuraih tangan kanan kak Hanif lalu kupakaikan cincin itu di jari manisnya, tak sampai disitu, aku juga mencium tangannya tanda hormatku pada suami.

"Aku mencintaimu wahai istriku" bisik kak Hanif tepat disamping telingaku.

Tunggu, bilang apa dia tadi. Dia mencintaiku? Bagaimana bisa? Kami belum pernah kenal dekat sebelumnya. Rio saja dulu, harus pendekatan terlebih dahulu baru bilang cinta. Tapi pemuda ini?.

Aku yang terkejut mendapat ungkapan cinta itu, langsung mendongakan wajahku, tak kusangka wajah kak Hanif dengat sekali dengan wajahku, bahkan aku bisa merasakan deru nafasnya dari jarak sedekat ini. Seakan mengerti dengan keterkejutanku. Kak Hanif merubah posisinya, ia berdiri didepanku, seulas senyum semakin mengembang di bibirnya.

Ia mengajakku keluar dari kamar, bagaikan robot yang sudah diprogram, aku ikut saja. Ia memegang tanganku erat, aku tidak membalas genggamannya, tanganku terasa lemas sekali, entah kenapa padahal ini bukan kali pertamanya aku berpegangan tangan dengan seorang pria.

Kukira yang datang ke rumahku hanya sebagian keluarga saja, namun perkiraanku melset, bukan hanya sebagian, namun semua sanak keluarga dari pihak Ayah dan Ibu nampak hadir. Belum lagi keluarga besar dari suamiku.

Suamiku? Jujur aku sedikit geli kalau mengucapkannya. Mungkin karena belum terbiasa. Kak Hanif mengenalkanku pada orangtuanya. Aku menyalami satu persatu Ayah dan Ibunya. Nampaknya kak Hanif berasal dari keluarga yang sangat paham akan agama. Terlihat jelas dari dandanan Ibunya kak Hanif yang begitu anggun dengan hijab panjangnya dan jangan lupa dengan sebuah kain yang menutup sebagian wajahnya.

Dan Ayahnya, lebih terlihat seperti seorang kyai, penampilannya sangat sederhana dan sopan, dikepalanya terpasang sebuah kopiah berwarna putih. Dan jangan lupakan pula sorban putih yang dikenakan dileher beliau.

"Apa kabar Neng?" Tanya Ibunya Hanif, suaranya terdengar begitu lembut.

"Alhamdulillah baik, bu" ini adalah kalimat pertama yang kuucapkan setelah akad, ibunya kak Hanif tampak tengah tersenyum.

Ibunya kak Hanif mengajakku untuk mengobrol berdua, sedangkan kak Hanif dan ayahnya, entah apa yang mereka bicarakan. Aku tidak terlalu peduli.

"Apakah pernikahan ini mengganggu sekolahmu?"

Tentu sangat mengganggu.

"InSyaAllah tidak bu"

"Apa kamu ridha menikah dengan anak Umi?"

Aku tidak ridha bu, karenanya masa mudaku hilang begitu saja.

"Ridha bu"

Coba kuhitung, sudah dua kali aku berbohong pada wanita paruh baya ini, kalau aku berbohong untuk yang ke tiga kalinya aku jamin aku pasti dapat hadiah piring.

"Panggil Umi saja, biar lebih akrab"

"Baik U.. Umi"

Oi, mulutku tidak terbiasa mengucapkan kata Umi, biasanya mengucapkan Ibu.

"Semoga rumah tangga kalian diridhoi Allah".

"Amin".
.
.
.
.

Bersambung....

Setelah membaca jangan lupa untuk vote dan komen cerita ini ya. Biar lebih semangat nulis authornya wk :v.

Jazakumillah khair...

ig : @arininur23

Hanif Dan Syifa (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang