13 - Berita duka

275 26 3
                                    

Kukira setelah perdebatan kami di masjid tadi, Kak Hanif akan meminta maaf padaku. Tapi nyatanya, sikapnya semakin dingin saja.  Yasudahlah, aku tak peduli, lagipula dia yang memulai semuanya dan dia juga yang harus mengakhiri.

Dari luar ruang observasi kulihat ibu menangis sembari memeluk tubuh ayah, kenapa? Ada apa ini?. Perasaanku menjadi tidak enak. Beberapa perawat dan seorang dokter keluar dari ruangan itu dengan wajah yang,,,,, entahlah, aku tidak berani untuk menafsirkan mimik wajah mereka. Tapi yang jelas pasti ada yang tidak beres.

Salah seorang perawat yang masih berada di dalam sana, membuka beberapa alat yang dipasang di tubuh ayah. Wajah ayah terlihat pucat tapi bercahaya, bibirnya terlihat seperti tengah tersenyum. Tubuhnya lemas tidak bisa digerakkan, bukan hanya itu nafasnya pun berhenti.

Tanpa diberitahu, aku mengerti dengan apa yang terjadi. Nafasku seakan tercekat, seolah ada sebuah batu batu besar yang menindih dadaku. Semuanya seakan hampa, tubuhku terasa mati rasa. Hanya suara tangis ibu yang kudengar.

Kak Hanif menatapku seolah ia merasa bersalah, tapi tak kupedulikan. Dengan langkah yang terasa sangat berat, aku mendekati ibu yang masih memeluk tubuh  ayah. "Ibu" panggilku dengan suara rintih.
Duniaku seakan runtuh melihat semua kenyataan ini. Ingin kumenangis tapi aku tak mau ibu melihatku mengeluarkan air mata, kutahan sekuat yang kubisa agar ibu dapat tegar.

Ibu mendekapku dengan erat seolah hanya aku harapannya sekarang ini. Kubalas pelukan ibu dengan erat pula, tanpa terasa air mataku menetes. Dengan cepat kuhapus air mataku, jangan sampai ibu melihatku menangis, untuk sekarang aku harus bisa menjadi penopang ibu.

"Ayah udah sembuh bu" ucapku dengan nada suara yang sedikit bergetar.

"Bu, ambulansnya sudah siap" ucap salah satu perawat tadi, kulepaskan pelukan ibu. Dengan wajah yang tertunduk ibu berjalan menuju mobil ambulans, jenazah ayah sudah dibaringkan didalam sana. Aku dan Kak Hanif juga menaiki mobil ambulans itu.

.
.
.

Pemakaman berjalan dengan lancar, tidak ada kendala sedikitpun. Hanya saja ibu memilih untuk tidak ikut ke pemakaman, ibu takut tidak kuat melihat tubuh laki laki yang sangat ia cintai ditimbun tanah. Jujur saja, lututku terasa lemas saat di pemakaman tadi, untung saja Kak Hanif sigap menahan tubuhku.

Satu persatu orang-orang pergi meninggalkan pemakaman. Hanya tersisa aku dan kak Hanif. Kakiku masih terasa berat untuk berjalan, hatiku juga masih berat untuk pulang. Aku masih tidak percaya, jika makam yang ada di hadapanku ini adalah makam ayah, laki-laki yang paling kucintai.

Baru beberapa hari yang lalu, sebelum ayah dilarikan ke rumah sakit, aku dan ayah tertawa bersama saat ayah bercerita tentang kisah cintanya bersama ibu. Hari itu kulihat senyum ayah sangat bahagia, tak terlihat seperti orang yang tengah sakit. Tapi kini maut memisahkan aku dan ayah.

Tanpa terasa air mataku mengalir deras, seakan aku mengeluarkan semuanya. Mengingat sejak di rumah sakit kemarin aku berusaha untuk tidak menangis dihadapan ibu. Tapi kali ini air mataku sudah tak terbendung lagi. Kak Hanif merangkulku, menarikku kedalam pelukannya, dengan lembut ia mengelus punggungku.

"Perpisahan ini hanya sementara, Insyaallah kita akan berkumpul lagi, semoga Allah mengumpulkan kita di surga nanti" ucap kak Hanif, tangisanku belum juga reda.

"Maafkan aku Syif" kutatap wajah Kak Hanif, ada gurat penyesalan disana. "Maaf atas ucapanku kemarin, harusnya aku gak ngomong kayak gitu ke kamu".

Kulepaskan pelukan kak Hanif, dengan sekuat tenaga aku mencoba untuk berdiri. "Sudahlah kak" ucapku. Tanpa menunggu apa yang akan di katakan olehnya, aku melangkah pergi meninggalkan pemakaman. Ini bukan saat yang tepat untuk membahas masalah itu.

"Syifa..." Panggil Kak Hanif dari belakang sana, tapi aku tetap mengacuhkannya dan melanjutkan langkahku. "Syifa, kumohon berhenti" Kak Hanif menahanku, ia ingin aku mendengar ucapannya.

Kutatap matanya seakan menunggu apa yang akan ia katakan. Ia terlihat menghela nafas panjang sebelum berbicara. "Maaf" dan hanya satu kata itu yang kaluar dari mulutnya. "Kita bicarakan hal ini dirumah aja" ucapku sambil berlalu pergi mendahuluinya.

Tubuhku terasa seperti melayang, seakan kakiku tidak menyentuh bumi. Aku merasa sedang bermimpi, mimpi yang tak kuharapkan, dan aku berharap segera bangun dari mimpi ini. Sepanjang perjalanan menuju rumah, orang-orang yang mengenalku menatapku dengan iba, sesekali mereka menasihatiku untuk selalu kuat. Perlakuan mereka cukup membuatku sadar kalau ini semua nyata bukan mimpi.

Di rumah ternyata ibu tidak sendiri, ada orang tua kak Hanif disana, mereka tersenyum padaku. "Sabar ya nak, ini semua sudah takdir Allah. Kita semua juga akan kembali pada-Nya" ucap Umi. Aku hanya mengangguk sambil berusaha tersenyum.

Kulihat ibu masih terdiam di kamar, ibu sudah tidak menangis lagi. Tapi tatapan matanya kosong, ini lebih menghawatirkan. "Ibu" panggilku sambil memeluknya dari belakang. Ibu merespon pelukanku dengan menggenggam tanganku lembut, sambil berusaha tersenyum ibu berkata "Ayahmu adalah laki-laki terhebat yang pernah ibu kenal".

"Kamu tau Syif, kenapa ayah buru buru menikahimu?" tanya ibu. Aku hanya menggelengkan kepala. Ibu merubah posisinya, menatapku dengan lembut.

"Apa karena ayah tahu kalau dia sakit?" Tebakku.

"Bukan sayang. Masih ingat peraturan yang ayah dan ibu buat" ku ingat ingat kembali peraturan apakah itu. "Ibu yakin kamu lupa, biar ibu ingatkan. Saat itu kamu baru SMP, ayahmu tahu betul kalau waktu itu adalah saat saat kamu ingin tahu banyak hal. Entah itu hal positif atau negatif, contoh kecilnya adalah berpacaran". Ucap ibu.

"Ibu sama ayah bikin peraturan untukmu, salah satunya adalah melarang kamu pacaran"ucap Ibu.

Aku menelan ludahku berat, ya peraturan itu. Aku ingat betul, tapi peraturan itu justru aku langgar. "Waktu itu ayah liat kamu naik motor berdua sama laki-laki. Saat itu juga ayahmu sadar, cara satu-satunya untuk menyelamatkan putri tercintanya dari dosa adalah dengan menikahkanmu".

Setes demi setetes air mata tak terasa tumpah begitu saja, merasa bersalah sekali karena pernah bersuudzon pada ayahku sendiri. Padahal maksudnya hanya ingin menjagak kesucianku, agar aku tidak terjerumus. Aku keluar dari kamar ibu dengan langkah lesu, lagi-lagi kakiku seperti melayang, lemas sekali.

Aku kembali ke kamarku, tak ada siapapun disana, entah kemana suamiku mungkin sedang menemui orangtuanya. Kutatap sebuah jam weker kecil berbentuk doraemon pemberian ayah dulu, masih segar diingatan ku, saat itu ayah membelikanku jam ini karena aku selalu telat bangun subuh "udah ada jam weker jangan sampei sholat subuhnya telat" ucap ayah tegas. Aku hanya mengangguk saja, tapi tak kujalani, bahkan sampai sekarangpun terkadang aku masih telat sholat subuh.

Bersambung....

Assalamualaikum. Alhamdulillah bisa up, sebelumya saya ingin meminta maaf sebesar besar nya pada para pembaca Hanif dan Syifa, karena kalian sudah menunggu terlalu lama. Maaf,,, saya harap kalian semua bisa bersabar guys. Oke 😉.

Jazakumullah Khair.
Vote dan kommen jangan lupa.

Ig : @arininur23

Hanif Dan Syifa (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang