"Kenapa Kak? Pasti Kakak dipaksa sama Ayah buat nikahin Syifa ya. Atau Kakak mencintai wanita lain diluar sana?" Tanyaku, entah kenapa kini aku merasa hatiku sangat sakit.
"Bukan gituh" sanggahnya.
"Terus kenapa? Kakak terpaksa ya nikahin aku?" Tanyaku lagi, dadaku terasa sesak, seperti ada batu besar yang menghimpit.
"Ya aku terpaksa menikahmu...." ucapnya, oh ada apa ini? Kenapa hatiku sakit mendengarnya, padahal aku tidak mencintai kak Hanif.
"Karena aku tidak mau terjerumus dalam maksiat ketika aku manatap wanita yang kucintai" ucapnya sambil menatap mataku dalam, tidak ada kebohongan dimata Kak Hanif saat mengatakan itu, ia serius mengatakannya.
"Aku tidak mau dosaku semakin bertambah, aku ingin menatap wajah cantikmu sepenuhnya tanpa harus mengundang dosa, tapi mengundang pahala, tapi aku menyesal menikahimu karena....."
"Karena pernikahan ini pasti menganggumu, menjadi beban bagimu, apalagi kamu masih berstatus pelajar" sambungnya. Jantungku hampir lompat dari tempatnya mendengar alasan Kak Hanif itu.
"Jujur padaku Syifa, apa kamu menyesal menikah denganku?" Tanyanya. Bagaimana ini apa aku harus jujur? Atau berbohong. Tapi kalau bohong kan dosa. Yasudahlah, lebih baik jujur walaupun menyakitkan. Aku menganggukkan kepalaku.
"Awalnya pernikahan ini memang sangat membebaniku. Apalagi kita belum pernah dekat sebelumnya" ucapku seadanya. Kak Hanif nampak terdiam sejenak, semoga perkataanku tidak menyinggungnya.
"Hmmmm Kaka gak marah kan?" Tanyaku ragu.
Mendengar pertanyaanku ia tersenyum, lalu menggelengkan kepalanya "Aku mengerti sayang. Kita masih perlu waktu untuk saling mengenal. Aku yakin perlahan hatimu akan menerimaku"
Oh. Leganya hatiku, satu masalah selesai, tinggal masalah lain harus diluruskan. "Dan satu lagi Kak. Aku..." Kak Hanif nampak menunggu, apa aku harus mengatakannya sekarang? Tapi kalau tidak sekarang kapan lagi.
"Syifa.... hmmmm... anu Kak" tuh kan kambuh lagi setiap lagi gugup.
"Kamu mau ngomong apa sih?" Tanya Kak Hanif mulai tak sabar.
"Anu.... Syifa mau minta maaf"
"Maaf untuk apa?"
"Syifa belum bisa menjalankan kewajibanku sepenuhnya, Syifa juga belom bisa melayani Kakak dengan baik" ucapku pelan, antara malu dan entahlah.
"Tak apa aku bisa mengerti, mungkin untuk sekarang kita harus saling memperbaiki diri dulu. Anggap saja ini masa masa pacaran kita" ucap Kak Hanif dengan tulus. aku hanya tersenyum, entah dorongan dari mana tiba tiba saja aku memeluk tubuh Kak Hanif dengan lembut. Mungkin karena merasa bersalah, dan hanya ini yang bisa kulakukan. Perlahan tangan Kak Hanif membalas pelukanku lebih erat.
.
.
.
.Pagi ini entah kenapa mood ku lebih baik, apa karena semalam aku dan Kak Hanif kembali baikan? Entahlah. Yang jelas hari ini aku semangat menjalani hari. "Jangan senyam senyum terus" tegur Kak Hanif sambil mencubit pipiku lembut, tangan kirinya masih sibuk mengatur stir mobil.
"Tabassumuka fi wajhi akhika shodaqah" ucapku mengeluarkan dalil "Senyummu dihadapan saudaramu adalah sedekah" sambungku, mendengarnya Kak Hanif tersenyum geli.
"Senyum memang sedekah, apalagi kalau senyumnya buat suami lebih berpahala, tapi dari tadi kamu senyum senyum sendiri, sedekahnya ke siapa coba" ucap Kak Hanif yang memang ada benarnya. Sedikit bergeser agar posisi dudukku bisa menghadap suamiku langsung.
"Yaudah Syifa mau senyum ke Kakak aja"
"Jangan...." sahutnya sambil menggelengkan kepala. lho, kenapa bukannya tadi dia bilang senyum pada suami berpahala tapi kenapa gak dibolehin. "kenapa?".
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanif Dan Syifa (On Going)
Spiritual'Nikah muda?' Kata itu tidak ada dalam kamus kehidupan Asyifa Aulia, menurutnya menikah diusia muda hanya akan menghambat dirinya untuk menggapai mimpinya. Namun semuanya berubah ketika seorang pemuda tiba tiba saja masuk kedalam hidup Syifa. Pemuda...