9 - Malam Spesial 2

380 35 4
                                    

Selama perjalanan, kulihat Ka Hanif tak henti hentinya menyunggingkan senyum, entah apa yang ada di fikirannya, apa karena menurutnya perlakuanku tadi lucu?. Bahkan sejak tadi tangan kiri Kak Hanif terus menggenggam tangan kananku.
"Kakak kenapa sih?" Tanyaku mulai tak sabaran.

Ia hanya tersenyum, tidak menjawab ataupun berkata apa apa. Jadi makin bingung diriku. Yasudah lah, nanti juga dia bakal bilang kenapa dia keliatan seneng banget. Mobil yang kami tumpangi terus melaju bersama kendaraan lainnya. Sepanjang perjalanan cahaya lampu dari gedung gedung tinggi saling berpendar, ciri khas suasana malam perkotaan.

Kak Hanif menghentikan mobilnya tepat di depan rumah makan khas sunda. "Syifa kira kita bakal pulang" ucapku.

"Aku punya kejutan spesial buat kamu" ujar Kak Hanif sambil membukakan sealt beat yang kukenakan.

"Oh ya? Apa kejutannya?" Tanyaku antusias. Jujur saja, ini pertama kalinya Kak Hanif memberiku kejutan.

"Ada aja, kalau aku bilang sekarang, bukan kejutan namanya" jawabnya, Kak Hanif keluar dari mobil terlebih dahulu, disusul oleh diriku.

Rumah makan khas sunda itu cukup ramai, tapi untung saja ada dua kursi yang masih kosong. "Biar Kakak yang pesenin" ucapnya. Padahal aku sama sekali belum bilang aku mau makan apa, tapi dia sudah bergerak sendiri, yasudahlah.

Cukup lama aku menunggu, akhirnya Kak Hanif datang dengan sebuah nampan yang dipegangnya, diatasnya terdapat beberapa piring. Semua makanan yang Kak Hanif pesan ternyata makanan favoritku, mulai dari sayur kangkung, sambel terasi, ikan asin, dan yang paling menjadi favoritku adalah, semur jengkol. Ya Allah, tau dari mana dia, kalau aku suka semur jengkol.

"I know it's your favorite food" ucapnya.

"Kakak tau dari mana kalau Syifa suka jengkol?" Tanyaku, karena aku masih penasaran, padahal setelah menikah hingga kini aku belum menyentuh makanan yang dikenal bau itu.

"Rahasia, sekarang kita makan"

Sebenarnya aku sedikit gengsi makan sama jengkol pasti mulutku akan bau setelah memakannya, tapi ya bagaimana lagi, perutku sudah berbunyi meminta jatah, daripada aku pingsan nanti, lebih baik singkirkan dulu rasa gengsiku, kalau kata orang sunda lapar mah te karasa kubatur, nah begitulah perumpaan diriku.

Sepertinya malam ini aku akan tidur nyenyak setelah makan besar, biarlah. "Makannya pelan pelan nanti keselek" sahut Kak Hanif. Aku tersenyum malu mendengar ucapannya.

"Abis enak banget Kak, terakhir Syifa makan jengkol itu seminggu sebelum nikah sama Kakak, jadi udah lama banget" jelasku, sedikit curhat.

"Eh Kok Kakak gak makan jengkolnya?" Tanyaku, karena sedari tadi hanya aku yang makan makanan itu.

"Eh... kamu aja"

Kuambil satu keping jengkol itu, lalu kusuapi Kak Hanif "gak usah Syif, buat kamu aja semua" sanggahnya. Kenapa sih dia tidak mau makan, padahalkan enak.

"Sekali aja cobain, aaaaa.... buka mulutnya, ayo Kak ini enak lho"

Akhirnya dia membuka mulut juga, dikunyahnya jengkol yang kusuapi tadi, dan ekspresinya sungguh lucu sekali. Eh, tapi kenapa? Emangnya Kak Hanif gak suka jengkol, ekspresinya seperti tersiksa begitu.
"Kakak gak suka jengkol ya?" Tanyaku sedikit ragu.

Mendengar pertanyaanku, ia hanya tersenyum, senyum yang menyiratkan ia memang tidak suka jengkol. Ah, nggak seru dong kalau makan jengkol sendiri. "Itu jengkolnya bisa ditelen gak??" Tanyaku. Perlahan Kak Hanif menggelengkan kepalanya, mulutnya masih penuh dengan jengkol yang kusuapi tadi.

Kuambil beberapa tisu, lalu diberikan padanya "Keluarin aja". Ia menurut ucapanku, wajahnya nampak lega sekali setelah jengkol itu keluar dari mulutnya.

"Maaf ya" ucapnya sambil tersenyum malu.

"Iya gak apa apa" kusuapi lagi Kak Hanif, tapi bukan dengan jengkol. Hanya nasi, untuk penetralisir agar rasa jengkolnya hilang. "Biar ilang rasa jengkolnya dilidah" Kak Hanif menerima suapanku dengan suka rela.

Tak sengaja aku melihat pengunjung lain yang duduk disampingku, sepsang remaja yang usianya tak jauh dariku, mereka menatapku. Kenapa? Ada apa? Apa mereka iri melihatku dan Kak Hanif, atau sebaliknya? Entahlah, aku tak peduli.

Eh, tapi kenapa aku dan Kak Hanif jadi suap suapan begini ya.

.
.
.

Kukira setelah makan tadi, Kak Hanif akan langsung mengajakku pulang. Tapi ternyata tidak. "Syifa kira kita bakal langsung pulang" ucapku, mengingat ini adalah malam minggu, mungkin Kak Hanif ingin mengajakku kencan seperti pasangan remaja yang tengah di mabuk cinta.

Kak Hanif tersenyum padaku, "Khusus malam ini aku ingin berduaan dengan istriku".

"Anggap aja kita lagi pacaran, bukankah aku ini pacar barumu" goda Kak Hanif. Tuh kan benar dugaanku, tapi kok dia malah mengungkit ucapanku tadi ya, kan aku jadi malu.

"Emang kita mau kemana sih Kak?" Tanyaku, sebenarnya aku hanya ingin mengalihkan topik pembicaraan.

"Ke suatu tepat"

"Kemana?"

"Kejutan" jawabnya singkat tanpa mengalihkan pandangannya, apa Kak Hanif ini mencoba memberiku kejutan?. Mobil yang kami tumpangi terus melaju memasuki area perumahan, Kak Hanif semakin membuatku penasaran saja.

Tak lama mobil kami berhenti didepan sebuah rumah yang tidak terlalu besar, tapi tidak terlalu kecil pula. Terlihat sederhana, namun tetap terlihat nyaman. "Ini rumah siapa?" Kak Hanif hanya tersenyum mendengar ucapanku, dia mengajakku untuk masuk ke dalam rumah itu.

Tanpa permisi atau ketuk pintu terlebih dahulu, Kak Hanif langsung masuk begitu saja kedalam rumah itu. "Eh, Kak gak sopan langsung masuk rumah orang" ucapku pada Kak Hanif. Kulihat ia nampak menahan tawanya.

"It's our home" bisiknya tepat didepan telingaku.

Tapi tunggu, apa katanya? Rumah kita? Ah masa. "Kok bisa?" Jujur aku masih bingung.

"Ya pasti bisa. Ayo masuk" ajak Kak Hanif, tangan kanannya menarik tangan kiriku dengan lembut. Aku ikut saja, saat ia menarikku.

Kukira didalamnya belum ada perabotan atau furniture lainnya, namun dugaanku salah. Semuanya sudah tersedia, lengkap. Mulai dari meja makan, kursi, lampu dan lainnya, hanya alat elektronik yang belum tersedia. Terdapat tiga kamar tidur, ruang tamu, ruang makan, dapur, dan kamar mandi. Wow, kukira tidak akan terlalu luas saat masuk kedalamnya, tapi ternyata cukup luas juga.

"Aku membangun rumah ini sebelum melamarmu" Ucap Kak Hanif.

Tapi itu artinya, Kak Hanif mengajakku untuk tinggal berdua bersamanya, artinya aku akan tinggal terpisah dari kedua orangtua ku. Ya Allah, aku belum siap. "Kenapa?" Tanya Kak Hanif saat ia melihat ekspresi wajahku.

"Kakak pasti mau kita belajar hidup mandiri ya?"

"Semua pasangan pasti ingin hidup mandiri, karena tidak selamanya kita harus bergantung pada orangtua"

"Berarti kita harus pindah rumah ya?"

"Itu cara satu satunya agar kita bisa hidup mandiri. Kenapa?"

"Syifa belum siap kalau harus tinggal jauh dari Ayah dan Ibu" ucapku jujur. Kutundukkan kepalaku, aku tak berani menatap mata suamiku.

"Aku tidak akan memaksa, aku mengerti, mugkin ini terlalu cepat. Mungkin kita harus jalan pelan pelan dulu" ucapan Kak Hanif itu membuat hatiku lega, setidaknya aku tidak harus berdebat lama dengannya agar kami tidak dulu pindah rumah.

Bersambung....

Assalamualaikum
Alhamdulillah bisa up lagi, ada yang kangen author kah??? Karena sudah lama tak jumpa. Semoga kalian yang sabar menunggu cerita ini up sehat selalu ya.

Vote dan komen jangan lupa ya...

Jazakumullah khair.

Ig :@arininur23

Hanif Dan Syifa (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang