12 - Pertingkaian pertama

335 24 4
                                    

Hari sudah mulai gelap, saat aku sampai di rumah sakit. Disana di depan ruang UGD kulihat Ibu sedang menunggu bersama dengan seseorang. "Assalamualaikum" ucapku, mendengarnya Ibu langsung menoleh ke arahku, lalu menjawab  salam dariku. Segera kupeluk Ibuku dengan erat, berharap dengan cara ini dapat mengurangi kesedihan Ibuku.

"Kamu abis dari mana Syif?" tanya Ibu. Duh, jujur jangan ya? Atau bohong aja?. Tapi kan dosa.

"Syifa abis dari...."

Kulirik orang yang berdiri disamping Ibu. Eh, itu kan suamiku, kok udah disini?. "Lho, Kakak udah pulang? sejak kapan? kenapa gak kabarin Syifa?" tanyaku bertubi tubi.

Kak Hanif tersenyum kecil, bukannya menjawab pertanyaanku, ia malah bertanya balik. Ia melirik Angga yang berdiri dibelakangku "Kesini sama siapa?" tanya Kak Hanif. Aduh, kenapa juga Angga ikut masuk. Kukira Angga langsung pulang sehabis mengantarku tadi.

"Dia temen Syifa, namanya Angga" ucapku. Sepertinya Angga peka dengan maksud ucapanku, ia langsung mencium tangan Ibu sambil memperkenalkan dirinya, begitu pula pada Kak Hanif, mungkin ia fikir Kak Hanif ini Kakakku. Padahalkan aku anak tunggal, dan semua temanku tahu akan fakta itu. Semoga saja Angga tidak curiga.

"Eh, Ayah gimana keadaannya bu?" tanyaku pada Ibu.

"Ayahmu kritis Syif"

"Kok bisa?" Sejak kemarin Ayah memang sudah terlihat lemas, wajahnya juga pucat.

"Ibu juga gak tau, waktu Ibu pulang dari masjlis, Ayah udah pingsan di kamar" Ya Allah, padahal tadi pagi Ayah menyuruhku untuk pulang cepat, dia memintaku untuk menemaninya dirumah, karena recananya Ibu akan pergi pengajian sore tadi. Ini salahku, kenapa juga aku meng-iya kan ajakan Luna, kenapa juga aku tidak ingat kalau Ayah memintaku untuk pulang lebih cepat.

Lututku terasa lemas, hampir saja tubuhku merosot diatas dinginnya lantai rumah sakit. Untung dengan cepat Kak Hanif menahan tubuhku, lalu ia menggiringku untuk duduk di kursi yang sudah disediakan.

"Yaudah Syif aku pamit ya" ucap Angga, aku menganggukkan kepala, lalu berterima kasih padanya karena telah mengantarku. "Semoga Ayahmu cepat sembuh". Ucapnya lagi sebelum benar benar pergi.

Sayup sayup terdengar suara adzan berkumandang menelusup lorong lorong rumah sakit yang tidak pernah sepi pengunjung. ini sudah pukul tujuh malam, berarti sudah masuk waktu isya.

Astaghfirullah!!!. Aku melewatkan sholat maghrib tadi, bagaimana bisa aku melalaikan ibadahku hanya karena terlalu asyik menonton film di bioskop tadi.

"Ayo kita sholat" ajak Kak Hanif, aku hanya menurut saja, bukan hanya aku yang diajaknya untuk sholat, Ibu juga diajaknya, namun Ibu menyuruh kami untuk sholat terlebih dahulu, ibu ingin menunggu disini dulu.

Didalam sudah banyak orang yang sedang siap siap untuk melaksanakan sholat isya. Sebelum benar benar masuk kedalam masjid, tak lupa aku mengambil wudhu.

Tempat sholat bagi para wanita terdapat di lantai dua masjid. Untung saja aku selalu membawa mukena kemana pun, jadi tidak usah meminjam milik masjid. Tapi sepertinya mukena yang disediakan di masjid ini semua sudah terpakai, terlihat dari rak penyimpanan yang sudah kosong.

Dilantai satu, Sang imam masjid sudah menyuruh makmum untuk meluruskan barisan. Tak lama terdengar suara imam mengucapkan takbir, tanda sholat dimulai.

Terenyuh sekali saat mendengar suara sang imam membacakan al-fatihah, apalagi saat imam membacakan surat Luqman ayat 16.
"Hai anakku, apabila ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau langit atau di dalam bumi, niscaya allah akan (membalasinya). Sesungguhnya Allah maha mengetahui."
.
.
.

Selesai melaksanakan sholat, aku tidak langsung beranjak dari dudukku, rasanya aku belum bisa memaafkan diriku sendiri. Semua ini gara gara diriku, andai saja aku pulang lebih cepat tadi. Andai saja...

Kuusap wajahku sedikit kasar, pasti hidungku sudah seperti badut, berwarna merah. Baru sadar ternyata, tinggal aku sendiri yang duduk di dalam sini, padahal tadi aku melihat ibu ibu masih duduk di belakangku. Mungkin saking khusyunya melamun, aku jadi tidak sadar kalau aku sendirian disini. Tapi tak apa lah, aku jadi lebih bebas menangis.

"Suara tangis kamu terdengar sampai kebawah" ucap seseorang. Spontan kumenoleh ke sumber suara. Ternyata Kak Hanif, Ia berjalan mendekatiku, lalu duduk tepat didepanku. Eh, tapi tunggu dia bilang apa tadi?.

"Kalau nangis jangan keras keras, untung dibawah udah gak ada siapa siapa" ucapnya.

Berarti bagus dong, aku lebih leluasa untuk menangis sekencang apapun. Kutarik nafasku dalam dalam, mencoba mengeluarkan rasa sesak yang menghimpit dadaku. Tapi tiba tiba Kak Hanif memelukku dengan erat sambil mengusap kepalaku.

"Sudah" ucapnya sambil mengelus punggungku dengan lembut.

"Syifa" sahut Kak Hanif. "Boleh aku tanya sesuatu?" Aku menganggukkan kepalaku. Tampak kak Hanif menghela nafasnya.

"Pulang sekolah tadi kemana dulu??" Tanyanya. Duh, nanya juga kan, harus kujawab apa coba pertanyaannya itu. Kalau bohong takut dosa, kalau jujur takut dimarahi. Yasudahlah, lebih baik jujur saja.

"Syifa pergi ke bioskop kak" ucapku jujur.

"Sama laki-laki itu juga? Siapa namanya, Angga?"

Aku mengerutkan keningku dengan spontan mendengar pertanyaannya itu, ditambah nada bicaranya juga terdengar tidak biasa. Kenapa dia jadi seperti ini, di saat seperti ini pula.

"Ya, tapi aku sama Angga...."

Belum selesai aku berbicara kak Hanif sudah memotong pembicaraan. "Jadi kalian berdua nonton bareng gitu?" Ucapnya berspekulasi tanpa mendengar penjelasanku.

"Lalu laki-laki itu nganter kamu kesini" ucapnya lagi.

"Kok Ka Hanif gitu sih?" Aku jadi merasa tidak dihargai kalau seperti ini.

"Tapi itu kenyataannya kan? Istriku nonton di bioskop bersama laki-laki yang bukan mahramnya"

"Kak dengerin dulu penjelasan Syifa"

"Gak, kamu yang harus dengerin aku Syif. Dengar, saat suami pergi jauh seharusnya kamu menjaga kehormatanmu dan kehormatan suamimu. Bukannya seperti ini"

"Maksud Kak Hanif apa? Jadi Kakak fikir selama Kakak gak ada aku bebas main sama temen temenku gitu. Gak Kak, aku juga punya pendirian sendiri, gak akan semudah itu aku tergoda laki-laki lain"

Nafasku memburu seperti baru saja marathon, sebenarnya bukan tubuhku yang marathon tapi hatiku. Lelah rasanya menahan emosi seperti ini. Tapi sudahlah, toh dia juga belum tentu ngerti.

Kuputuskan untuk beranjak pergi. Meninggalkan Kak Hanif disana sendiri. Biarlah, semoga dia sadar kalau pemikirannya itu salah.

Bersambung.....

Assalamualaikum..
Malam ahad guys, alhamdulillah bisa up. Semoga bermanfaat..
Jazakumullah khair .

Vote dan komen jangan lupa.😘

@arinnur23

Hanif Dan Syifa (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang