8 - Malam Spesial

421 40 4
                                    

Sesuai janjiku kemarin, hari ini aku akan benar benar memutuskan Rio pacarku itu. Hffft, melelahkan sekali mencari orang itu, sudah kucari dikelasnya, di lapangan tapi tak terlihat juga batang hidungnya, dasar ghaib. Terus kutelusuri koridor sekolah demi menemukan orang itu.

Disana, tepatnya di dekat tangga yang menghubungkan lantai satu dan dua sekolah, aku melihat Rio. Akhirnya, kutemukan juga mahluk ghaib itu. Tapi sepertinya ia tidak sendiri, dia bersama seorang perempuan, dan mereka tengah berduaan, mana daerah dekat tangga itu memang agak sepi, apalagi kalau sudah jam pulang sekolah seperti ini, sangat mencurigakan sekali.

Dengan langkah perlahan, aku menghampiri Rio. Aku semakin menyipitkan mataku, demi melihat wajah perempuan yang sedang bersama Rio. Perempuan itu tidak mengenakan hijab, rambutnya dikuncir kuda. Tunggu, sepertinya aku kenal dengan perempuan itu. Kulihat dari tempatku berdiri, Rio semakin mendekatkan wajahnya pada wajah perempuan itu,

Dan...

Adegan selanjutnya sungguh membuatku terkejut dan tak habis fikir. Hampir saja kaki ku tersandung saking terkejutnya melihat pemandangan didepanku itu. Ia mencium bibir perempuan itu. Rio, laki laki yang awalnya kukira baik, dan berbeda daripada laki laki lain diluar sana, ternyata sama saja. Menyukai wanita hanya untuk mendapatkan tubuhnya saja. Sungguh demi apapun aku ingin muntah melihatnya.

Dan yang paling membuatku terkejut adalah perempuan yang yang bersama Rio itu adalah Luna, sahabatku sendiri. Tak terasa air mataku lolos begitu saja, membasahi pipi. Antara sakit karena ternyata sahabatku menikam dari belakang, sekaligus sedih karena Luna begitu mudah memberikan salah satu anggota tubuhnya pada laki laki yang bukan mahramnya.

Ingin rasanya aku menjambak rambut Rio sampai rambutnya terlepas dari kepalanya, tapi nyatanya tubuhku menghianati hatiku. Dengan tergesa aku membalikkan badan, dan pergi dari tempat itu, meninggalkan kedua sejoli yang tengah terbakar nafsu syetan itu.

Untung saja keadaan sekolah sudah sepi, jadi tidak ada yang melihatku menangis. Aku terus berjalan melewati lorong sekolah menuju parkiran, semoga saja Kak Hanif belum pulang. Di parkiran sudah tidak ada satupun mobil yang terparkir, hanya ada satu motor yang disana.

Tiba tiba seseorang menepuk pundakku dengan lembut. Walaupun sentuhannya pada bahuku terasa lembut tapi tetap saja aku terkejut. "Kaget ya" ucapnya sambil tersenyum lebar, aku hanya menggerutu kesal.

"Datang datang bukannya ngucapin salam"

"Hehe, maaf. Ayo kita pulang" ajak Kak Hanif.

"Kita pulang naik apa?" Tanyaku bingung, karena bukankah tadi pagi Kak Hanif pergi membawa mobil.

"Naik motor" ucapnya sambil menghampiri motor yang terparkir rapi.

"Lho mobil Kakak mana?"

"Udah jangan banyak tanya. Sekarang kita pulang" ucapnya seraya memakaikan helm berwarna hitam itu dikepalaku.

"Ayo naik" titahnya, aku hanya menuruti ucapannya, bahkan saat Kak Hanif menyuruhku untuk berpegangan, dengan cara melingkarkan kedua tanganku dipinggangnya.

Motor yang kami tumpangi melaju dengan santai, membelah jalanan yang ramai oleh pengguna kendaraan yang lain. Fikiranku kembali berputar, kejadian yang baru kulihat tadi kembali terlintas dikepalaku. Saat Rio mencium bibir sahabatku, Luna.

Sesak sekali mengingat kejadian itu, entah kenapa padahal aku sudah tidak memiliki perasaan apapun lagi pada Rio, apa mungkin karena Luna sahabatku. Untuk yang kesekian kalinya, air mataku kembali menetes membasahi pipi. Buru buru kuusap air mataku, takut takut kalau Kak Hanif melihatku menangis.

"Menangislah, kalau itu dapat membuatmu lega" ucap Kak Hanif. Mendengar ucapannya, entah kenapa air mataku tak terbendung lagi. Aku menyembunyikan wajahku dibahu Kak Hanif, dan menangis di bahu Kak Hanif selama perjalanan pulang. Biarlah orang lain yang melihat mau berkata apa, toh dia ini suamiku.
.
.
.
.

Malam ini udara terasa lebih dingin daripada biasanya, kurapatkan kembali jaket yang kukenakan, saat kakiku melangkah keluar dari rumah. Malam ini Kak Hanif mengajakku untuk makan diluar. Ia mengajakku ke sebuah cafe yang isinya kebanyakan muda mudi yang sedang menikamati malam mereka bersama pasangan masing masing.

"Mau pesen apa?" Tanya Kak Hanif.

"Aku mau late aja"

"Makan?" Tanyanya lagi, aku hanya menggelengkan kepala.

Aku mengedarkan pandangan kepenjuru arah. Kebanyakan pengunjung disini tidak sendirian, mereka membawa pacar mereka masing masing, dan kelakuan mereka seperti orang yang sudah menikah saja, mulai dari berpegangan tangan, bahkan saling merangkul, aku saja yang sudah menikah gak berani mesra mesraan di depan umum.

Kak Hanif sendiri yang duduk tepat didepanku tampak sangat kaku sekali, entah apa yang difikirkannya, mungkin dia belum ahli dalam hal berpacaran. Sungguh diantara semua pengunjung disini, hanya aku dan Kak Hanif yang tidak mengumbar kemesraan. Kak Hanif tersenyum padaku, "Kayanya aku ajak kamu ke tempat yang salah" ucapnya sedikit berbisik.

"Emang apa yang salah?"

"Gak" Suasana diantara kami mulai mencair. Nampaknya Kak Hanif tidak kehabisan akal untuk terus mengobrol denganku.

Tiba tiba tanpa diundang seseorang duduk di bagku tepat disampingku. "Halo Yang" sapanya padaku. Duh, musibah ini pasti, kok si Rio malah nongol disini? Kulirik sekilas Kak Hanif yang duduk didepanku, wajahnya sangat tidak bersahabat.

"Dari kamaren aku nyariin kamu, mau ngajak kamu jalan" ucapnya, aku hanya tersenyum, tanpa tahu apa yang harus dilakukan.

"Eh ini siapa? Om kamu ya? Tapi kok kayak kenal ya" Tanyanya, duh, aku harus jawab apa? Masa aku harus jujur kalau Kak Hanif ini suamiku. Kulihat dari pandangan mata Kak Hanif, sepertinya ia berharap kalau aku bilang dia ini memang suamiku. Tapi masa aku harus jujur sih.

"Eh, dia kan guru yang lagi magang di sekolah, Yang" ujar Rio sedikit berbisik padaku.

"Emang" jawabku singkat.

"Oh jadi dia Om kamu" ucapnya menyimpulkan sendiri, "Perkenalkan Om saya pacarnya Syifa, Rio" Ia mengulurkan tangan kanannya untuk menyalami Kak Hanif, layaknya seorang laki laki yang barusaja bertemu dengan ayah pacarnya.

Dengan ekspresi datarnya, Kak Hanif menyambut uluran tangan Rio. Diciumnya Tangan Kak Hanif oleh si Rio. Aduh, keadaan jadi makin canggung saja antara aku dan Kak Hanif. Kalau si Rio, jangan tanya dia malah menggodaku.

"Dia bukan Om aku" ucapku tiba tiba.

"Lho kalau bukan Om terus siapanya kamu?" Rio mengernyitkan dahinya, ia nampak bingung.

"Dia...." aku menatap wajah Kak Hanif, nampaknya ia menunggu kelanjutan kalimatku.

"Dia pacar aku" ucapku. Kulihat Kak Hanif tampak tak percaya, sedangkan Rio jangan ditanya, ia sudah menganga tak percaya.

"Kamu selingkuh dari aku Yang?" Tanyanya tak menyangka.

"Aku gak selingkuh" sanggahku.

"Tapi kamu kan pacar aku, terus kamu pacaran lagi sama orang lain. Itu namanya selingkuh Yang"

"Aku udah berusaha buat jauhin kamu Rio, dan aku anggap kita udah putus" jelasku dengan bodohnya. Rio menampilkan ekspresi teraniaya. Entah apa yang tengah ia rasakan.
"Bukannya kamu juga lagi pacaran sama Luna?" Sambungku. Mendengar kalimat yang baru saja terlontar dari bibirku, Rio seperti salah tingkah.

"A... aku gak pacaran sama Luna" sanggahnya. Jadi malas aku mendengar ocehannya.

"Dasar playboy, Kak kita pergi aja yuk" ajakku pada Kak Hanif, jujur saja aku jadi mual melihat wajah si Rio. Langsung kugandeng lengan kanan Kak Hanif dengan mesra, biar si Rio semakin emosi dan merasakan perihnya sakit hati.

Bersambung....

Assalamualaikum.

Jangan lupa vote dan komen..
Jazakumullah khair...

Ig :@arininur23

Hanif Dan Syifa (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang