“Kau ini kenapa, sih?” tanya Ryon kesal dengan sikap Luna yang seenaknya menarik tangannya tadi. Mereka berdua berlari, memasuki celah-celah bangunan. Terkadang suara cipratan becek karena sepatu boot mereka, menggema.
“Maaf, aku terlalu panik. Kita harus segera pergi dari sini, Ryon. Aku merasakan firasat buruk! Aku merasa ada seseorang mengikutiku dari tadi!!”
“Apa?!” seru Ryon kaget, “jangan konyol, Luna! Mana mungkin ada yang mengikutimu? Kita kan orang asing!”
“Entahlah… aku juga tidak tahu!” seru Luna panik. Ryon terdiam, apakah ibunya mencarinya? Lalu menyuruh orang-orangnya untuk mencarinya? Itu tidak mungkin…. Ryon tahu, ibunya pasti mengerti dan beliau merelakan kepergiannya. Kalau bukan ibunya, lalu siapa? Luna tidak mungkin berbohong…
“Lalu bagaimana sekarang?” tanya Luna tidak sabar. Ryon terdiam memikirkan sesuatu. Tiba-tiba entah khayalannya saja atau tidak, Ryon merasa ada yang mengawasi mereka berdua.
“Kau benar, baiklah! Ayo kita harus keluar dari sini!!” seru Ryon sambil menggandeng tangan Luna beranjak dari tempat itu.
Mereka berdua mempercepat langkah mereka, dan dengan hati–hati mencari jalan ke gudang tanpa menarik perhatian orang-orang sekitar.
Mereka sampai di gudang saat sore menjelang malam. Mereka melepaskan tali kekang kuda dari tambatannya lalu menaikinya.
“Bagaimana? Kau sudah menemukannya?” tanya Luna, Ryon mengangguk.
“Ohya, aku heran, bagaimana kau tahu aku ada di kedai?” tanya Ryon heran.
“Secara logika, informasi lebih banyak didapatkan dari sebuah kedai yang paling sering dikunjungi oleh pelancong atau pedagang dari seluruh negeri. Yah, awalnya aku tidak tahu, dimana kedai yang kau singgahi. Terlalu banyak kedai di kota ini. Jadi terpaksa aku harus mencarimu satu–persatu tempat kedai.” jelas Luna.
“Oh,Terima kasih. Kau telah mencariku kemana–mana,” kata Ryon tulus.
“Ya, kau membuatku repot!” Luna tersenyum,”tapi.. Yah, sama–sama! Aku senang. Nah ayo kita pergi!”
Mereka pun segera melaju menuju pintu luar kota tepat langit telah gelap. Setelah merasa cukup jauh dari desa dan sudah aman, mereka memperlambat kuda mereka. Hawa dingin mulai menyelimuti mereka. Luna merapatkan jubahnya.
“Ryon, kita mau kemana sekarang? Apa kita tidak berhenti untuk tidur? Cuaca malam ini sepertinya tidak mendukung perjalanan kita,” ujar Luna.
“Entahlah… Aku juga tidak tahu.. Lebih baik kita jalan terus. Bahaya kalau kita berhenti disini. Kudengar banyak pelancong yang diserang oleh monster saat perjalanan,”
“Apa? Kenapa tidak bilang, sih? Ayo, lebih baik kita memacu kuda kita!” seru Luna, lalu memacu kuda hitamnya mendahului Ryon.
“Eh? Dasar! Aku ditinggal lagi!! Luna tunggu!!” teriak Ryon, ia memacu Norn menyusul Luna yang sudah agak jauh di depannya.
Mereka tidak menyadari ada beberapa orang mengawasi dan mengikuti mereka berdua sejak di kota Svine. Entah siapa mereka, yang jelas Luna dan Ryon dalam bahaya. Dan jauh dari mereka semua—Luna dan Ryon serta orang-orang itu—berada, tidak ada seorang pun tahu bahwa sesosok makhluk sebesar burung Flow mengintai di kegelapan malam menunggu saat yang tepat.
*
Istana Dragwolf masih tampak sama sejak Runia terakhir kalinya menghadap raja Rowlan bersama suaminya. Runia berjalan pelan sambil bermain–main dengan kenangannya saat ia pertama kali ke istana saat masih kecil hingga terakhir kalinya 16 Yer yang lalu. Ia tersenyum sedih, mengingat begitu banyaknya kejadian menyenangkan dan menyedihkan yang terjadi di istana ini.