10. Test - Min Yoongi

86 12 31
                                    

Dua telapak kaki itu putih, tapi karena sudah lebih dari satu hari ia berjalan tanpa tujuan dengan kaki telanjang tanpa busana sedikitpun, membuat kaki sang empunya terlihat kumuh. Sebenarnya tidak kumuh, hanya saja sang empunya yang terlalu malas membersihkannya. Baginya, mencuci kaki hanya membuang-buang waktu.

Satu hari penuh ia habiskan untuk berkeliling tanpa tujuan. Wajahnya pucat karena seharian penuh belum makan, badanya mengurus akibat kekurangan makanan. Kaus kebesaran miliknya kusam dan berkibar di terpa angin, tak lupa celana pendek khas rumahan yang menggantung di kakinya yang putih sedikit kusam itu.

Kepalanya terus bergoyang kekanan dan kekiri entah mencari apa. Bibirnya bergetar menahan rasa lapar yang sudah menjangkitnya dari kemarin malam. Perutnya menggeliat sehingga refleksnya menyuruh ia memegang perutnya dengan erat. Sakit sekali rasanya seperti mau mati.

Kenapa ia sudah sesakit ini, padahal dia baru tidak makan sehari?

Oh, benar juga, ia belum minum selama dua hari, makanya rasanya sangat sakit. Seandainya dia sekarang ada di padang pasir, mungkin dia sudah mati duluan akibat dehidrasi. Menariknya lagi, sekarang is sangat jauh dari lokasi seperti padang pasir.

Ia berada di tengah kota.

Pusat keramaian kota, dimana seluruh mata memandang hanya ada bangunan tinggi menjulang seolah tak mau kalah dari langit. Padahal langit tak ada salah, tapi gedung-gedung ini dibuat untuk mencakar langit yang tak berdosa. Di dasar bumi tempat bangunan itu, ratusan manusia berlalu lalang, melaksanakan aktivitasnya masing-masing. Terpaku pada ponsel pintar, membawa koper, membawa tablet menjadi hal biasa disini.

Lelaki itu terus menapakkan kakiknya. Walau tubuhnya yang berumur 25 tahun itu sudah dianggap besar, tetap saja ia terlihat kecil akibat bajunya yang kebesaran. Dia berdiri di tengah keramaian kota mendongak keatas sambil bergelut dalah benak, mengapa diriku hadir disini?

Benar juga, ada satu hal yang membawanya kesini.

Kehadiran lelaki itu yang berdiri di tengah keramaian menarik atensi makhluk di sekitarnya. Sebagian mulai berbisik dan menunjuk-nunjuk lelaki itu, seolah lelaki itu tidak masalah ditunjuk-tunjuk, okelah kalau memakai jari telunjuk, tapi bagaimana jika ia ditunjuk dengan jari tengah? Hei, dimana rasa malu mereka karena sudah menunjuk orang. Itu namanya tak sopan.

Mungkin kehadiran lelaki itu menjadi sebuah keanehan bagi makhluk sekitar kawasan ini. Mungkin manusia normal bagi mereka itu manusia yang berkutat pada ponsel pintar, membawa koper jinjing, memakai jas, dan poin yang menjadi tambahan yaitu memakai sepatu. Sejauh mata memandang, tidak ada kaki kumuh. Hanya lelaki itu saja.

Lelaki itu membuang nafas lelah.

Kemana aku harus pergi? Batinnya.

Kedua pupilnya menangkap sebuah gedung yang sangat tinggi menjulang, dan tertinggi dari yang lain. Di pintu masuk, ada sebuah tulisan yang sangat besar yang terbuat dari semen yang dicat emas. Tulisan tersebut bertuliskan 'MinCorp' dengan air mancur menghiasi tulisan di bawahnya. Agak menggelikan tapi indah.

Ia segera masuk dan mengetuk pintu super besar dihadapannya. Pada dasarnya, pintu itu tak perlu diketuk, hanya saja, dia yang terlalu primitif. Mungkin.

Kesal ketukannya tidak disahut, ia pun masuk ke gedung tersebut. Begitu masuk, disambut oleh keheningan tak berarti. Seluruh karyawan yang berlalu lalang langsung berhenti di tempat. Wajah mengintimidasi dan menyebalkan. Hingga mereka saling bertatapan beberapa detik, dan saat itu juga tawa mereka lembur.

Semua menertawakannya tanpa perduli akan kondisi lelaki ini. Bahkan dengan tidak kemanusiaan, mereka berlalu lalang begitu saja seolah lelaki ini hampa, tidak terlihat. Tak ada satupun mau menaruh empati pada lelaki ini, untuk sekedar bertanya saja mereka tidak mau. Melengos pergi bagai cahaya yang sangat cepat. Sambil sesekali sibuk mengurusi pekerjaannya.

Aletheia [BTS Oneshot]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang