Hari yang sempurna sekali. Presentasi kacau, materi yang sudah Reina hafal semalaman mendadak luntur begitu saja. Keningnya berdenyut nyeri. Terkutuklah aspirin yang sama sekali tidak bekerja, membuatnya terjaga hingga fajar.
Gadis itu tahu dirinya terlihat begitu bodoh dan memalukan seperti seekor anak ayam yang tersesat di tengah-tengah kerumunan bebek saat mencoba menjelaskan di depan kelas. Melihat bagaimana cara Dosennya mencoret sesuatu pada kertas dalam genggamandengan satu alis terangkat dan ekspresi yang tidak menyenangkan, Reina tahu bahwa dia baru saja mendapat musibah baru.
Nilai C.
Menghela napas, gadis itu kembali ke tempat duduknya dengan perasaan campur aduk. Jantungnya berdentum keras, jemarinya yang mendadak beku masih terasa. Pasrah, rasanya sia-sia saja usahanya kali ini untuk mendapat setidaknya nilai B dalam mata kuliah Profesor Han.
Nilai itu bukan segalanya. Tujuan kuliah untuk mencari ilmu atau nilai?
Gadis itu berusaha mati-matian untuk tidak melempar sesuatu dalam isi tasnya ke kepala Profesor Han. Sepertinya pria setengah baya tersebut menerapkan sistem orang cerdas kan bebas dalam kepribadiannya. Apa kata orang? Dosen selalu benar? Sepertinya anggapan itu tidak sepenuhnya salah.
Jika saja nilai tidak menjadi beban atau patokan kelulusan, maka ia tidak perlu repot-repot kalang kabut seperti orang kesetanan saat menggarap tugas dari Dosen atau mengkhawatirkan absensinya. Maksudnya, mereka juga pernah menjadi mahasiswa, bukan? Jadi tolong mengertilah sedikit.
Tanpa ambil pusing, Reina langsung meninggalkan ruangan beratmosfer mencekam tersebut begitu kelas usai. Tidak baik untuk kesehatan, pikirnya. Baru saja ia akan pergi ke perpustakaan untuk mencari beberapa referensi untuk dijadikan makalah, perutnya berkeriuk. Ia jadi ingat belum menelan apa pun sejak pagi. Mengisi perut sebentar tidak masalah agaknya. Memutar arah, gadis itu melangkah menuju kantin.
Tepat seperti dugaannya, kantin ramai pengunjung. Tidak heran sih, karena ini jam makan siang. Akan memakan banyak waktu jika ia memesan makanan cepat saji, mengingat Mata Kuliahnya Umum dimulai satu jam lagi. Jadi gadis itu berjalan menuju kulkas mengambil sebotol air mineral dan membawanya ke kasir untuk dibayar.
"Ada lagi yang ingin ditambah?" tanya penjaga kasir ramah setelah memberi tahu jumlah uang yang harus dibayar. Perempuan tersebut masih terlihat cantik walau kerutan pada mata dan pipinya saat tersenyum memperlihatkan garis usia.
Menilik beberapa kue yang diletakkan pada meja di samping kasir, pandangannya tertuju pada sandwich isi keju yang tampak lezat. Gadis itu mengangguk, "Satu potong sandwich keju."
Baru saja gadis itu hendak mengambil roti isi tersebut, sebuah tangan lebih dulu mencomotnya dan buru-buru membayar.
"Hei bung, tidak pernah diajarkan tata krama, ya?"
"Hmm?" Pemuda bersurai hitam tersebut menoleh, menatap Reina dengan kening berkerut. "Kau bicara padaku?"
Gadis itu merotasikan bola matanya. Jika saja ini film kartun, mungkin kedua telinganya sudah mengeluarkan asap karena kesal. Menatap kembali lawan bicara, gadis itu membalas dengan ketus, "Memangnya aku terlihat seperti sedang bicara dengan batu?"
Pemuda itu menaikkan sebelah alis, heran. "Kau ini kenapa, sih? Ada masalah?" jawabnya enteng.
Menarik napas, berusaha mempertahankan urat kesabarannya agar tidak putus. "Oh, tidak. Bukan apa-apa. Lagi pula menerobos antrean dan mengambil pesanan orang lain itu tidak salah." Gadis itu tersenyum kilas saat melanjutkan, "Tidak melanggar Undang-Undang pemerintah juga."
Tidak ada hal lain yang pemuda itu lakukan kecuali memandang kilas gadis itu, menanggapi dengan ber-oh kalem kemudian berangsur menjauh.
Sabar Reina, mencekik leher seseorang hingga putus merupakan tindak kriminal yang dijatuhi hukuman berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aletheia [BTS Oneshot]
FanfictionDon't hide, don't cheat. Be brave, show up. A project for celebration and first debut 31 December, 2018 Crownses