Part 2 ~ Kebersamaan

2.1K 236 37
                                    

"Kita adalah keluarga. Iya 'kan?"

~Nevan Ramananda~

Ada kalanya, Nevan lelah dengan segala rutinitas yang dijalaninya. Maka dari itu, ketika bel pulang sekolah berbunyi, ia tidak langsung bangkit dari bangkunya. Padahal, ponselnya sudah bergetar berkali-kali. Tanpa perlu mengecek pun Nevan tahu bahwa panggilan itu dari Pak Danu, supir pribadinya, yang selama ini ditugaskan oleh Bunda untuk mengantar jemputnya. Pada akhirnya, daripada Pak Danu yang menyeretnya langsung seperti minggu lalu, Nevan bangkit. Ia mengenakan tasnya dan berjalan ke luar kelas dengan lesu.

Nevan melirik lapangan basket yang terbentang tepat di hadapannya. Beberapa siswa terlihat sedang melakukan pemanasan. Tanpa sadar, Nevan tersenyum sendu. Sejak dulu, ia memang dibatasi aktivitasnya. Karenanya, di saat-saat seperti ini, Nevan kadang terdiam di depan lapangan, memperhatikan kegiatan ekskul, dan merenung. Sesekali merasa iri karena ia tidak seberuntung orang-orang di lapangan tersebut.

"Astaghfirullah, A. Saya tungguin dari tadi, ternyata kamu, teh, lagi di sini." Sebuah suara menyadarkan Nevan. Ia lantas mengerjap dan tersenyum simpul ke arah Pak Danu yang berdiri tak jauh darinya. Raut kekhawatiran dapat Nevan tangkap di wajah pria yang berusia hampir lima puluh tahun itu.

Begitu Pak Danu sampai di hadapannya, Nevan nyengir, seolah tanpa dosa. Tangannya menyugar surai hitam kecokelatannya yang sesekali tertiup angin. "Maaf, Pak. Aku juga baru selesai kelas, kok," ucap Nevan.

Pak Danu tampak menghela napas, lalu menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Yaudah, ayuk, pulang. Ibu udah nungguin di rumah," ajak Pak Danu. Tetapi, Nevan hanya diam di tempatnya. Sungguh, Nevan tidak berniat untuk pulang cepat hari ini.

"Nggak mau pulang ke rumah." Nevan berucap. Ia menggeleng beberapa kali. "Antar aku ke rumah singgah aja, Pak. Please ...."

Mendengar permintaan Nevan, Pak Danu menggelengkan kepalanya. "Kata Ibu, Aa, teh, harus langsung pulang. Jangan main ke mana-mana dulu."

Nevan mendengkus kesal. Ia bersedekap. Sifat manjanya mendadak muncul jika keinginannya tidak juga dikabulkan. "No, aku bilang, aku nggak mau pulang!" Nevan tetap kekeh. Ia membuang pandangannya.

Lagi-lagi, Pak Danu tampak mengembuskan napasnya lesu. Mungkin saja, ia sudah menyerah dengan kelakuan anak dari majikannya tersebut. "Iya, yaudah. Tapi, saya nggak tanggung jawab, ya, kalau Ibu marah besar."

Nevan lantas tersenyum lebar. Kedua manik bulatnya berbinar senang. "Iya!"

***

Kedua tungkai Nevan melangkah, menyusuri jalan setapak yang berbatu. Ia memperhatikan langit yang sedikit mendung, sebelum akhirnya membuka pagar besi yang sedikit berkarat. Langkahnya pasti, memasuki pelataran rumah singgah. Hingga akhirnya, Nevan sampai di teras. Pintu kayu yang ada di hadapannya tertutup rapat. Suara riuh dari dalam dapat didengarnya.

Salah satu alasan kenapa Nevan senang mampir di rumah singgah ini adalah karena keberadaan orang-orang yang ada di dalam. Karena keberadaan mereka, setidaknya, Nevan bisa sedikit melupakan masalahnya, sekaligus bersyukur dengan hidupnya saat ini. Karena Nevan sadar, ia masih lebih beruntung.

Nevan melepas sepatunya, lalu meletakkannya di rak sepatu yang ada di samping pintu. Perlahan, ia membuka pintu dan menyembulkan kepalanya ke dalam. "Assalamualaikum." Pintu dibuka lebih lebar lagi, menampilkan keadaan ruang tamu rumah singgah yang terhubung dengan ruang tengah.

"Nevaaan!" Sepertinya, Agha yang pertama kali menyadari kedatangan Nevan. Karena setelah melihat Nevan yang berada di ambang pintu, ia berteriak heboh, memanggil laki-laki itu. "Sini, sini! Ke mana aja kamu? Baru main sekarang!"

GLIMMER ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang