Part 14 ~ Menemukan Kehilangan

529 87 16
                                    


Ketika satu kejadian menuntunmu untuk menemukan, jangan terkejut andai kejadian lainnya mengarahkanmu pada kehilangan. Karena menemukan dan kehilangan adalah dua fase mutlak dalam kehidupan.

                      Arkana Erland

                               ***

Selama di sekolah tadi, Erland tidak banyak berinteraksi dengan siapa pun. Pikiran anak itu terpusat pada kondisi teman-temannya di rumah singgah. Mereka benar-benar tidak aman sekarang.

Kemarin, setelah mendengar mamanya bicara ihwal dokumen-dokumen penting terkait rumah singgah, Erland memang segera melaporkan hal itu pada salah satu orang di sana—Langit tepatnya. Jadi, setidaknya mereka bisa mengantisipasi apa yang mungkin akan dilakukan sang mama. Erland tidak bermaksud menentang mamanya, hanya saja apa yang terjadi akhir-akhir ini sudah melewati batas.

Kehangatan perempuan yang bertahun-tahun merawatnya itu tak ada lagi. Mamanya malah bersikap kejam dengan ingin mengambil alih kepemilikan rumah singgah. Padahal, di sana banyak orang yang sedang berjuang untuk bertahan hidup. Sama sepertinya.

Arkana Erland putra Mama Tyo adalah satu di antara orang yang tengah berusaha merayu Tuhan agar bermurah hati memperpanjang kontrak hidupnya. Vonis kanker nasofaring yang tempo hari diterimanya, membuat Erland harus menelan pil pahit di usianya yang masih begitu belia. Itu semua tidak membuat Erland putus asa, justru lebih bijak memaknai hidup. Bagaimanapun, di luar sana banyak yang tidak lebih beruntung darinya.

Dua puluh menit berlalu, Erland masih tertahan pada posisinya. Duduk diam dengan sebuah pena dalam genggamannya. Bukan menulis, apalagi mengerjakan tugas, anak itu justru tenggelam dalam lamunan. Hingga tiba-tiba, pintu kamarnya berderit, detik itu pula seluruh perhatiannya teralih.

"Hallo, Sayang. Kenapa belum tidur?" Sosok sang mama muncul di ambang pintu dengan senyum tercetak tipis di bibirnya.

Meski mamanya bersikap ramah, Erland tetap saja tidak bisa bersikap biasa. Bahkan, ketika sang mama mengusap lembut puncak kepalanya, anak itu bergerak menghindar.

"Besok jadwal simulasi, 'kan, Sayang? Besok pulang sekolah langsung ke rumah sakit, ya. Setelah urusan Mama selesai, Mama ke sana."

Erland beralih pandang, berusaha menemukan kehangatan yang sama. Namun, nihil. Yang terlihat dalam sorot mamanya hanya kilau keserakahan. Sekarang Erland sadar, ia sudah jauh kehilangan. "Untuk apa?" tanya pemuda itu dingin tanpa ekspresi.

"Supaya radioterapinya bisa cepat dilakukan, Sayang. Semakin cepat bukankah lebih baik? Kesempatan kamu untuk sembuh jauh lebih besar."

Tentu saja Erland tahu hal itu. Setelah hasil serangkaian pemeriksaan, meliputi cek darah, USG, dan lain sebagainya dinyatakan baik, Erland hanya tinggal melakukan simulasi atau penggambaran bagian mana yang akan disinar; menerima sinar radiasi. Tubuhnya dituntut untuk tetap fit demi bisa melaksanakan 25-30 kali radioterapi. "Untuk apa Erland sembuh kalau teman-teman di sana terbunuh?" tanyanya lagi.

"Erland, bicara apa kamu?" tegur Tyo yang seolah mulai paham arah pembicaraan putranya.

"Erland enggak mau sembuh sendirian, Ma. Teman-teman di rumah singgah juga barus tetap sehat. Jadi, tolong ... berhenti menyakiti mereka."

Anak laki-laki itu langsung menunduk setelah mendapat pelototan sang mama. Erland tidak bermaksud menentang, ia hanya berusaha mengingatkan agar mamanya tidak semakin keterlaluan. Bagaimanapun jumlah yang berdiri di pihak anak-anak rumah singgah jauh lebih banyak. Erland tidak ingin ibunya balik dilukai.

"Lancang. Jangan ikut campur urusan Mama."

"Ma, tolong sekali ini aja ikuti apa yang Erland mau. Bagaimana kalau seandainya Erland diambil Allah sebagai ganti dari apa yang Mama lakukan sama mereka?"

GLIMMER ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang