Part 18 ~ Kerja sama

384 65 3
                                    

Kata pepatah ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Begitu pula persaudaraan kita

Devario Anggara.

Menjadi pemberontak, tukang onar, biang rusuh rupanya sebutan itu sudah tidak asing lagi pada Deva. Tapi siapa sangka alasan Deva selama ini melakukan hal itu semua karena dia merasa kecewa dan putus asa pada hidupnya.

Sedari kecil hidup tanpa perhatian kedua orang tuanya membuat tingkah laku Deva semakin menjadi-jadi, ditambah sebuah fakta bahwa dirinya menderita sebuh penyakit mematikan membuat hidup Deva saat itu hancur.

Bagi Deva penyakit yang dideritanya saat itu adalah sebuah beban. Saat dirinya masih sehat saja kedua orang tuanya jarang memperhatikannya apa lagi saat tau bahwa dia terkena penyakit ini pasti kedua orang tuannya akan semakin menjauh dari dirinya.

Hingga saat-saat terpuruk Deva pun terjadi. Bahkan sempat terlintas pula di pikiran Deva untuk bunuh diri saat itu, tapi nyatanya tuhan masih berkehendak dirinya harus untuk tetap hidup melalui perantara Bunda Nana dan Bunda Vio. Saat itu mereka dengan penuh kasih mengulurkan kedua tangannya pada Deva, memberikan semangat pada Deva serta menariknya dari jurang kekecewaan serta kesedihan.

Berkat Bunda Nana dan Bunda Vio pula masa-masa terpuruk Deva itu berhasil dilalui dengan baik hingga saat ini.

.
.

"Deva ngelamun apaan lo? Kesambet tau rasa!" sambar Rian, membuyarkan lamunan Deva tentang ingatan kelam miliknya dua tahun yang lalu.

"He bungkus micin! Lo bisa nggak sehari aja, nggak bikin kaget gue?!" gertak Deva dengan pelan, menahan rasa kesal di dalam dadanya setengah mati.

Sementara itu Rian yang namanya dipanggil tidak sesuai oleh Deva mendengus sebal pertanda tidak suka. "Enak aja lo bilang gue bungkus micin!" sanggah Rian dengan bibir mengerut geram.

"Makanya jangan gangguin orang!" final Deva dengan singkat padat dan jelas.

Meskipun Deva sudah berusaha menghilangkan tabiat buruk miliknya sebagai tukang biang onar dan rusuh selama berada di rumah singgah tapi tetap saja sifat jutek dan keras kepala milik Deva tidak bisa hilang begitu saja.

"Gimana? Lo setuju nggak sama ide Alvi," tanya Rian kepada Deva.

Sementara itu Deva sendiri yang tidak mendengarkan pidato panjang lebar milik Alvi pun mengernyit heran
"Ide apaan?" tanyanya bingung.

"Makanya jangan ngelamun terus," tukas Nevan yang sedari tadi hanya mendengar.

"Ya maaf," ujar Deva seraya merotasikan bola mata.

"Udah-udah jangan berantem kalian. Jadi kita mau buat persembahan buat nyonya Tyo. Jadi kita buat lukisan nyonya Tyo duduk berdua sama Erland sama buat video tentang kita yang nggak mau kehilangan rumah singgah. Untuk yang ngelukis Rasya sama Langit yang lain bantu-bantu" jelas Alvi sekali lagi pada Deva yang tampak sudah mengerti.

"Oh gitu gue setuju, gue juga nggak bakalan ikhlas rumah singgah jatuh ke tangan Tante Tayo," putus Deva dengan semangat yang berapi-api dalam dadanya.
"Tyo kali namanya bukan Tayo, Dev. Lo asal ganti nama aja," ujar Rian menahan tawa disusul penghuni rumah singgah yang lain yang ikut tertawa

Melihat yang lain bisa tertawa saat ini merupakan suatu kebahagiaan tersendiri bagi Deva terlalu banyak kenangan indah dan pahit didalam rumah singgah ini. Meskipun baru dua tahun dia bergabung namun persaudaraan yang kuat membuat dia begitu nyaman.

"Terserah gue lah mah, sekarang gue harus bantu apa?" tanya Deva menatap yang lain.

"Pertama kita harus cari bahan lukis dulu Deva, kamu yang cari bisa kan?" tanya Rian menatap Deva.

"Bisa kok, gue siap bantu apa pun itu."

Sementara itu yang lain segera merancang konsep pembuatan video mulai dari apa yang ingin mereka sampaikan untuk nyonya Tyo.
.
.

Setelah kemarin para penghuni rumah singgah disibukan pembagian tugas, maka hari ini mereka akan melakukan tugas masing-masing. Termaksud Deva yang sudah bersiap untuk mencari bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat lukisan nyonya Tyo.

"Itu Tante Tayo nyusahin orang banget sih! Huft ... nggak boleh sebel, demi rumah singgah," ujarnya pada diri sendiri sembari memberi semangat.

"Deva, ayo sarapan dulu," panggil Bunda Nana sebelum laki-laki itu beranjak pergi mencari barang.

"Deva makannya nanti aja, Bun. Takutnya nanti gak keburu cari barang-barangnya," ucap Deva menolak permintaan wanita tengah baya yang dipanggilnya bunda itu.

"Makan sebentar aja, nanti kamu bisa sakit kalau nggak makan," ucap Bunda Nana masih mencoba untuk membujuk Deva makan.

Melihat sang Bunda yang berusaha untuk tetap membujuknya membuat Deva pun tak tega. Bagaimana pun juga wanita yang di panggilnya Bunda itu adalah wanita yang berjasa dalam hidupnya. Tanpa Bunda Nana dan Bunda Vio mungkin dirinya sudah tidak berada disini.

"Ya udah Deva ikut makan tapi sebentar aja, Deva harus cari peralatan lukis soalnya."

"Iya udah, ayo di meja makan udah banyak yang nunggu," ajak Bunda Nana pada Deva.

Namun sebelum sang Bunda beranjak pergi Deva tiba-tiba memanggil wanita tengah baya itu.

"Bunda."

"Iya? Ada apa?" tanya Bunda Nana sembari menatap lembut anak di depannya.

"Deva cuma mau bilang sama Bunda jangan khawatir, kita semua bakalan berusaha untuk perjuangin rumah singgah ini. Ini rumah kita semua, siapapun nggak boleh ada yang ambil," ujar Deva meyakinkan wanita tengah baya yang telah menolongnya dari jurang kepedihan.

"Bunda percaya sama kalian semua, kalian pasti akan berusaha yang terbaik untuk rumah singgah ini. Terima kasih karena sudah mau berjuang bersama-sama." ucap Bunda Nana menahan air mata yang akan segera tumpah. Dirinya sungguh terharu melihat segala perjuangan anak-anak dalam rumah singgah ini. Dirinya tidak menyangka mereka yang tidak saling kenal sebelumnya kini saling berkerja sama untuk mempertahankan rumah singgah yang dianggapnya penting.

"Seharusnya, Deva yang bilang makasih sama Bunda dari dua tahun yang lalu. Makasih Bunda udah tarik Deva dari jurang kegelapan, makasih bunda sudah mengenalkan dunia yang ternyata berwarna ini pada Deva," ucap perasaan Deva selama ini pada Bunda Nana.

"Udah, jangan diinget lagi. Kita semua pasti punya masa lalu mau buruk atau baik jadi nggak perlu ada yang disesali. Sekarang giliran kita menata masa depan. Jadi jangan dipikirin lagi ayo kita makan. Kita pasti sudah ditunggu yang lain," ucap Bunda Nana.

.
.

Setelah setengah hari dihabiskan Deva berkeliling untuk mencari berbagai keperluan melukis Langit dan Rasya, akhirnya pada pukul setengah dua siang berbagai keperluan yang dibutuhkan berhasil dia dapatkan ada bebarapa jenis cat berwarna-warni, ada juga bermacam-macam jenis kuas. Serta ber berapa perlengkapan yang akan digunakan untuk melukis seperti pallet, standing easel, dan juga canvas yang akan digunakan untuk melukis.

"Akhirnya lo pulang juga, Dev," ujar Rian saat menyambut Deva yang baru saja datang sambil membawa ber berapa kantong belanjaan.

"Sorry, tadi gue kejebak macet, makanya rada lama," ucap Deva sembari memberikan berberapa bungkus kantong belanjaan.

"Okay karena Deva udah di sini ayo kita segera kerja. Semakin cepet semakin baik," ujar Nevan memberi semangat pada seluruh penghuni rumah singgah.

Tanpa diaba-aba, tiba-tiba Deva segera menjulurkan tangannya ke depan
"Apapun keadaannya, kita bakalan tetep bersatu. Demi rumah singgah dan demi pengorbanan Zevan." ujarnya sembari menjulurkan tangan yang disambut oleh berberapa tangan milik Nevan, Alvi, Langit, Rasya, Shindu, Devan, dan ber berapa anak yang lain.

"Demi rumah singgah dan pengorbanan Zevan," ujar Rian yang disusul oleh yang lain.

Sementara itu Bunda Nana dan Vio pun hanya bisa terharu menyaksikan perjuangan anak-anak dalam mempertahankan rumah singgah agar tetap berada di tangan mereka.

Written by chlzz_ and SweetStoryArea member

GLIMMER ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang