Part 7~ Secercah Harapan

853 116 15
                                    

"Karena kita adalah keluarga. Masalah kalian, masalahku juga, 'kan?"

~ Rashi Abinaya ~
_

________________

Derap suara langkah kaki Rashka terdengar cukup jelas di sepanjang lorong rumah sakit. Lorong tempat kamar Rashi berada cukup sepi, terutama di malam hari seperti ini. Hanya ada beberapa perawat yang mendapatkan jatah jaga malam dan dokter IGD yang terlihat berjalan mondar-mandir di sekitar lorong. Rashka tersenyum, sesekali menyapa mereka sambil terus melangkah menuju kamar Rashi.

Hari ini pekerjaan di kantor cukup menyita waktunya, membuatnya terpaksa harus datang ke rumah sakit pukul sepuluh malam lebih. Rashka menarik napas panjang begitu kakinya berhenti tepat di depan ruang rawat Rashi, bersiap menerima amukan sang adik karena sudah melupakan janjinya untuk pulang lebih awal dan menemaninya menonton bola.

"Dek, ma-" Mata Rashka membulat lebar begitu menatap Rashi. Dia tanpa sadar melemparkan tas yang dia bawa dan segera berlari menghampiri Rashi yang tengah menggeliat kesakitan di atas tempat tidur.

"Dek? Hei? Kenapa? Mana yang sakit?" tanya Rashka panik. Rashi tidak merespon sama sekali. Tangannya mengepal erat di sekitar kepala. Berkali-kali tangan itu memukul kepalanya sendiri dengan keras sementara ringisan terdengar jelas dari mulut Rashi.

"Jangan, jangan dipukul kepalanya!" Rashka kalap, berusaha mencegah Rashi memukul-mukulkan kepalan tangannya ke kepala dengan mencengkeram tangan Rashi, tapi entah tenaga dari mana yang membuat Rashi selalu berhasil mendaratkan kepalan itu di kepalanya.

"Argh!" Rashi berteriak-teriak kesakitan, membuat Rashka semakin panik. Dia bahkan sudah menangis tanpa sadar, tidak tega melihat Rashi seperti itu. Jantung Rashka seakan jatuh ke kaki saat melihat darah mengalir begitu saja dari hidung Rashi, menetes mengenai pakaian dan selimutnya.

Masih menahan tangan Rashi untuk tidak memukuli kepala, Rashka mencoba meraih tisu di samping bantal dan mengusapkannya di bawah hidung Rashi, mencoba membersihkan darah yang entah bagaimana terus keluar seperti air hujan.

"Bang, gak kuat," lirih Rashi hampir tak terdengar. Rashka masih sempat melihat Rashi menatapnya dengan mata merah dan berair sebelum tangan adiknya itu melemas dan tubuhnya tiba-tiba saja jatuh terkulai dalam pelukannya.

Rashka sontak membeku di tempatnya. Tangannya yang tengah mencoba menyangga tubuh Rashi sudah gemetar hebat, tapi kesadarannya sepertinya masih menguasainya. Tangan gemetar itu perlahan bergerak menuju tombol darurat dan menekannya sekali, kemudian kembali memeluk Rashi dengan begitu eratnya.

"Ini belum waktunya pergi, jadi pastiin lo bangun besok!"

^^^

"Rashka, saya sudah berkali-kali menjelaskan ke kamu, jangan buat dia tertekan. Kondisinya masih naik-turun. Sekali kamu buat dia tertekan, lihat sendiri, 'kan efeknya?" tegur Dokter Arif sesaat setelah memeriksa kondisi Rashi dan memberinya obat penenang, juga untuk membuatnya tertidur tanpa rasa sakit.

"Saya bahkan gak tau dia tertekan gara-gara apa, Dok. Jadi gimana?"

"Terpaksa kita tunda dulu kemo besok, lihat kondisinya dulu."

Rashka yang tengah duduk di sofa perlahan mengusap wajahnya frustrasi. Kalimat Dokter Arif sejak tadi terus terngiang di benaknya. Dia seperti kecolongan, lagi. Padahal, pagi tadi dia meninggalkan Rashi dalam kondisi prima. Adiknya bahkan sangat siap untuk kemo besok, tapi kondisinya mendadak menurun seperti ini hanya dalam hitungan jam. Dia harus mencari tahu apa yang sebenarnya mengganggu pikiran Rashi hingga collapse seperti ini.

GLIMMER ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang