Part 16 ~ Duka

726 83 7
                                    

Selalu tenangkanku dalam emosi luka yang membara.

Aku dan kalian satu angan.
Tetap kuatkan genggaman hingga kematian memisahkan

Riandra Setia Ade Lano Yogi Arga Septa Nanda Altara.

***

Sempat membaik, bahkan hingga sudah dipindahkan ke kamar rawat biasa, nyatanya dini hari Zevan mengembuskan napas terakhir. Seluruh penghuni rumah singgah justru baru tahu pagi ini. Tepatnya, saat ibu Zevan dalam perjalanan kembali ke Bogor bersama jenazah putranya menelfon Vio.

Bunda Nana yang semalam tidak bisa tidur sebab teringat terus dengan ucapan Zevan, paling syok mendengar kabar tersebut. Apa yang ditakutkannya terjadi. Benar, semalam adalah kata-kata terakhir Zevan untuknya.

Bunda Nana beserta hampir seluruh penghuni rumah singgah segera menyusul ke Bogor. Beruntung tiba di sana jenazah Zevan belum disemayamkan dan baru disalatkan lima menit kemudian.

Tiada yang tak bersedih. Semua orang merasa kehilangan. Juga karena Zevan itu punya pribadi yang baik. Shindu, Langit, Devan, dan yang lain bahkan menangis sejak melihat tubuh Zevan yang terbaring dengan terbungkuskan kain kafan. Shana, gadis kecil itu yang paling keras tangisannya. Terlebih ketika sampai di pemakaman.

Dari seluruh penghuni rumah singgah yang turut datang hanya Rian satu-satunya orang yang tak menangis. Bukan karena tak merasa kehilangan, tapi ia tak tahu mengekspresikan bagaimana. Karena yang dirasakannya, bukan hanya sedih, tapi juga marah. Marah pada orang yang menyebabkan Zevan seperti ini.

Begitu pemakaman Zevan selesai, Bunda Nana mengutus Rian, Alvi, Langit, Davka, dan Shindu kembali ke Bandung. Sementara sisanya tetap berada di Bogor menemani Bunda Nana dan Vio hingga malam nanti.

Sorenya, sopir yang mengantar empat anak itu sampai di rumah singgah. Pukul setengah delapan malaman, Rian berdiri di tepi danau belakang rumah singgah terlihat diam dalam pandangan kosong mengingat Zevan.

"Cepet banget sih lo," gumam Rian berteman dengan heningnya malam.

Ia menjadi teringat seminggu yang lalu saat diajak mengobrol dengan Zevan. Tentang Zevan yang menasehatinya agar segera berbaikan dengan Guntur, ayahnya. Meski lebih muda setahun, kenyataan Zevan jauh lebih dewasa darinya. Ia sudah mengakuinya sejak lama.

Ia memang terlihat halus. Namun, sebenarnya ia keras. Tipe tidak gampang mendengarkan dan memaafkan orang.

"Sorry, Zev." Kata yang dikatakan Rian sangat lirih, sebelum kepalanya tertunduk dalam.

***

Di danau tadi tiba-tiba Rian kembali teringat tentang nasib rumah singgah. Tiba-tiba muncul hasrat mengumpulkan teman-temannya. Malam ini juga cowok itu menghubungi mereka. Satu-persatu, yang dekat maupun jauh.

"Dateng! Jam sembilan ngumpul." Agha menjadi orang terakhir yang Rian panggil. Awas saja bila tidak datang, besok ia akan mencekoki jus jeruk ke rumahnya.

Rian memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, kemudian keluar kamarnya bertemu dengan Alvi.

Alvi menjadi yang paling dekat dengan Rian. Selain bersahabat baik, mereka juga sekamar. Tak jauh beda dari Zevan, Alvi orangnya juga dewasa. Makanya ia nyaman dekat dengan cowok itu.

"Ri," ujar Alvi otomatis membuat kaki Rian berhenti melangkah.

"Kenapa?" Rian tiba-tiba melihat raut aneh di wajah Alvi. Seperti ragu dan takut. Entah apa yang akan dikatakannya.

"Kenapa?" tanya Rian sekali lagi. Matanya menyipit karena Alvi belum juga bicara.

"Di ... di depan ada ayah kamu."

GLIMMER ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang