Part 9 ~ Tawa Pertama

740 114 14
                                    


Baru saja lima belas menit berada di dalam mobil, Ari sudah merasa bosan. Bola matanya terus bergulir memperhatikan deretan kendaraan yang sepertinya enggan untuk melaju.

Tak jarang telunjuk kecilnya bergerak menghitung kendaraan-kendaraan itu, dan tak jarang pula bibir mungilnya bersenandung sambil diselingi gerutuan karena ia tak kunjung sampai ke 'lumah Sana', sebutan rumah singgah tempat ia bermain akhir-akhir ini.

"Aduh, macet lagi macet lagi," ujarnya, mengembuskan napas kuat-kuat sambil memukul kaca jendela.

"Sabar dong." Rani, sang ibu yang duduk di sampingnya langsung menyahuti seraya tersenyum. "Coba kalau tadi Abang gak minta Mama bikin kue dulu, pasti tadi kita berangkatnya pagi-pagi, dianterin Papa."

Ari menoleh, menatap wajah Rani kemudian bersuara nyaring sambil menunjuk jam digital yang tersimpan di atas dashboard taksi yang sedang mereka tumpangi. "Mama ini jam sembilan ya? Abis sembilan, sepuluh ya, Ma?"

"Ngeles aja," ucap Rani, namun tak urung ia membenarkan ucapan sang anak.

Setelah bertanya tentang jam, kini Ari mengalihkan perhatiannya pada tas kepala Mickey mouse di sampingnya. "Mama?"

"Iya."

"Mama, Abang mau lumah Sana ya, Ma?" tanyanya sambil menunjuk ke arah tas kemudian menunjuk asal ke jalan yang sedang mereka lewati.

Lagi-lagi Rani hanya mengiyakan. "Abang main sebentar di sana, nanti sore sama Papa dijemput."

"Mama mana?"

Rani tersenyum. "Nanti Mama mau belanja dulu, jadi nanti Abang jemput Mama, ya?"

Ari menganggukkan kepalanya. "Mama?"

"Iya?"

"Abang bawa kue banyak ya, Ma? Nanti bagi gak?" Ari menunjuk lagi tasnya, tempat di mana kue-kue kering yang tadi pagi dibuat mamanya di simpan.

"Bagi dong. Nanti Abang bagi ke semuanya."

"Semua-mua? Sana, Depan, Iyan, Sidu, Api."

"Mas Devan, Mas Rian, Mas Sindu, Mas Alvi," koreksi Rani, "terus siapa lagi?"

"Mayan."

Rani membeliak. "Lho kok Mayan? Mas Rayyan."

Ari tersipu. "Gak boleh salah ya, Ma?"

"Boleh. Tapi sedikit."

"Tlus siapa, Ma?"

"Mas Lang?"

"Ngit."

"Terus siapa lagi?"

"Tante-tante cewek ya, Ma?"

"Tante-tante cewek siapa aja namanya?"

Ari menggigit bibir bawahnya, bola matanya bergulir ke atas kemudian dia menghela napas panjang. "Lupa-lupa aja."

Rani tidak kuasa menahan senyum. Kendati sudah beberapa kali dikenalkan tapi tampaknya Ari masih sering melupakan dan malas untuk mengingat-ingat nama para pengurus panti tersebut. "Nanti Abang tanya ya, namanya siapa aja."

"Heeh." Mendengar perintah itu, Ari pun memilih tidak lagi menanyakan apa-apa lagi. Bocah berkaus hitam itu kini memfokuskan perhatiannya pada kendaraan yang sudah mulai melaju pelan.

Kedua sudut bibirnya berkedut kala taksi yang ditumpanginya semakin lama semakin melaju cepat. Karena jujur saja ia sudah sangat tidak sabar untuk segera sampai ke rumah singgah. Tidak sabar ingin menceritakan tentang ini dan itu lalu bermain bersama teman-teman yang sudah seperti keluarga barunya di sana.

GLIMMER ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang