DILEMA 1

4K 210 5
                                    


       
       Aku menatapnya tajam. Rasa ini kian menghujam sesak. Terlebih saat wanita yang di sisinya mengambil selembar tisu dan mengusapkan perlahan ke mulut yang sedikit belepotan itu karena sisa makanan. Mendadak aroma capuccino di depanku menjadi tak menarik lagi.

Sejujurnya tak ada yang salah dengan mereka. Justru rasaku yang tidak pantas. Wanita itu miliknya. Bahkan di antara mereka telah ada seorang putri kecil sebagai tanda cinta. Hanya saja kenapa batin ini tak pernah rela?

Namanya Ardian. Dia teman masa kecilku. Kedekatan yang terjalin sudah lebih dari saudara. Bukan hanya tentang aku dan dia, tapi juga keluarga. Namun aku tak pernah tau entah sejak kapan rasa ini bersemayam.

"Ai, gua jatuh cinta."

Aku yang tengah menenggak minuman tersedak. Saat itu kami tengah menikmati makan siang setelah seharian disibukkan dengan kegiatan kampus yang membludak. Nyaris saja minuman yang berada di mulutku menyembur ke wajah tampannya.

"Maksud lo?"

"Lo kenal Alika? Anak fakultas kedokteran yang nge-kost di seberang kompleks kita?"

"Oh ... itu, iya ... kenal," sahutku terbata.

Kalian tau bagaimana rasanya saat kita berada di titik tertinggi lalu tetiba didorong tanpa permisi hingga terlempar ke jurang yang terdalam? Bukan saja tubuh, bahkan seluruh organ dalam seakan berhamburan keluar dari tempatnya.

Aku pikir rasa itu ia tujukan untukku. Tapi nyatanya ...? Mendadak pelupuk mataku memanas. Tapi segera berdamai dengan diri sendiri. Cukup aku yang tau betapa hati ini telah remuk hanya dalam hitungan detik. Perlahan bibirku menyungging senyum. Berusaha melipat rapi rasaku agar tak pernah disadari olehnya.

"Lalu bagaimana dengan dia?" Aku bertanya sambil menancapkan garpu sedikit ditekan pada ikan goreng yang tetiba terasa alot.

"Dia nerima gue," sahutnya berbinar.
"Lo tau? Ternyata ia juga telah sejak lama suka, tapi gak berani ngungkapin karena Alika menyangka kita ada hubungan," lanjutnya lagi tanpa mengerti seperti apa akibat yang ia goreskan di sini.

Fix. Emang dasar cowok enggak peka. Aku mendadak kenyang. Masih pura-pura tersenyum bahagia aku bangkit.

"Gue duluan ya, masih ada kelas."

"Aira, makanannya belum habis lho."

"Udah kenyang. Oh ya, karena lo yang selesai belakangan jadi lo yang bayar."

"Ah ... modus." Ia mendumel.

Aku terkekeh lantas berlalu.

'Kau memang tak pernah mengerti, Ardian.'

Sesak itu akhirnya tumpah ruah saat aku masuk ke toilet kampus. Mungkin salahku karena selama ini menganggap kedekatan kami sudah cukup mewakili rasa. Tak perlu ada kata yang terucap. Bukankah selama ini kami saling mengerti? Saling memahami? Bahkan saling tau kapan dan apa saja yang kita sukai dan tidak?

Nyatanya itu belum cukup. Rasa itu perlu diungkapkan. Tapi saat menyadari, segalanya telah terlambat. Ada nama lain yang bersemayam di hatinya. Aku hancur ... dan sekarang ....

Sakit itu berulang, walau ia sama sekali tidak menyadari.

***

     Aku mengaduk jus jeruk di depanku untuk yang ke sekian kalinya. Menekan rasa yang entah sudah seperti apa. Harusnya aku ingat, kafe ini tempat favorit kami sejak dulu. Sudah pasti siapa pun yang dekat dengannya akan ia bawa juga ke sini.

Jadinya aku sendiri kan yang merana? Melihat ia bercengkrama dengan wanitanya tanpa tau ada rasa sakit yang tengah meremas dada tak jauh dari tempat mereka saling bermanja.

DILEMA (Antara Cinta dan Persahabatan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang