DILEMA 2

1.8K 162 6
                                    

      "Aira!"

Panggilan itu menghentikan langkahku. Untuk sesaat aku tertegun. Alika. Aku berharap saat ini aku tengah berhalusinasi. Sayangnya tidak!

Wanita berhijab itu melangkah tergopoh mendekati. Dengan napas yang masih terengah-engah ia berucap, "To long ja ngan per gi, Aira."

"Alika ...!" Bibirku bergetar saat menyebut nama itu.

Wanita itu menatapku dalam. Kaca-kaca mulai membias di sudut matanya yang indah. Pantas saja Ardian begitu tergila-gila. Wanita ini benar-benar cantik. Kecantikan yang sama sekali tidak tersentuh makeup yang berlebihan.

"Bolehkan aku meminta sesuatu darimu?" ujarnya pelan.

Tanpa rasa sungkan jemarinya meraih telapak tanganku dan menggenggamnya.

"Alika ...."

Lagi-lagi hanya namanya yang bisa terucapkan.

"Kita perlu bicara, tapi bukan di tempat ini."

"Maaf, tapi aku harus segera berangkat."

"Kumohon Aira, aku janji tidak akan lama. Setelah itu kamu boleh memutuskan, bertahan di sini atau tetap akan kembali ke sana."

Aku menatap wanita itu ragu. Melihat kesungguhan yang ia tunjukkan aku jadi tidak tega. Itulah aku. Terlalu perasa. Mungkin karena itu jugalah aku sering dimanfaatkan teman-teman dari dulu. Entahlah!

"Baiklah! Kita bicara di mana?" Akhirnya aku memutuskan.

Wanita itu tersenyum lebar.

"Terima kasih, Aira. Kamu baik sekali."

Sayangnya kebaikanku tak berguna untuk meraih cinta Ardian, tentu saja kata-kata itu hanya terucap dalam hati. Yang terlihat aku menanggapi kata itu dengan senyum hambar.

Alika menggandeng tanganku menuju parkiran. Ia lantas membukakan pintu mobil dan mempersilakan aku masuk sebelum ia sendiri memutari depan mobil untuk bisa sampai di belakang setir.

"Ngobrolnya di sini saja," pintaku.

"Tidak Ai, kita cari kafe terdekat. Tidak lama kok."

Aku mengangkat pundak, pasrah. Batinku dipenuhi segudang pertanyaan, apa sesungguhnya yang ingin dikatakan wanita ini?

***

     Cappucino yang aku seruput nyaris saja menyembur ke wajah Alika. Untung aku segera meraih tisu dan menutupinya ke mulut. Aku tersedak.

"Kamu sadar apa yang barusan kamu ucapkan, Alika?" tanyaku setelah berhasil menguasai diri.

"Sangat," sahutnya tegas.

"Ini bukan perkara main-main." Aku menatapnya tajam.

"Aku sangat serius. Semalaman aku tak bisa tidur memikirkan masalah ini. Lalu aku istikharah. Dan inilah jawabannya. Mungkin memang kita ditakdirkan untuk berbagi."

Aku menggeleng cepat.

"Sayangnya aku tidak senaif kamu. Aku egois. Dari dulu aku tidak terbiasa berbagi dalam hal apa pun. Kalau pun ada yang ingin aku miliki, maka itu hanya akan menjadi milikku seutuhnya." Aku sengaja menekankan agar Alika sadar bahwa apa yang ia tawarkan itu suatu kegilaan.

Sepertinya berhasil. Keraguan mulai terlihat dari wajahnya. Tak bisa dimengerti, bagaimana mungkin ia berpikir untuk berbagi suami denganku?

Aku menepuk pundaknya pelan.

"Sekarang aku makin yakin menitipkan Ardian kepadamu. Kamu jodoh terbaik yang Allah kirimkan untuknya."

Setetes bening lolos begitu saja. Aku membuang pandang agar kaca-kaca itu tak terlihat oleh Alika. Percayalah! Ini tidak mudah. Mengatakan tidak untuk sesuatu yang sangat diharapkan.

DILEMA (Antara Cinta dan Persahabatan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang