BAGIAN 12

3.2K 220 26
                                    


Aku turun perlahan dari mobil. Dua hari menginap di bangsal rumah sakit akhirnya diizinkan pulang. Hanya Roby yang menjemput. Katanya Bunda dan Rania lagi persiapan menyambut tamu mereka. Tak apalah. Lagi pula tak mungkin aku terus menerus merepotkan keluarga itu. Mereka juga punya urusan sendiri yang harus dikerjakan.

Roby membawakan tas yang berisi pakaian ganti selama di rumah sakit dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanan menuntunku pelan. Ia sangat telaten.

Begitu menginjakkan kaki di ruang keluarga aku tertegun. Tak percaya akan pandangan sendiri. Sesaat hanya menatap Roby dengan pandangan yang sulit diartikan. Lelaki yang selama dua hari ini begitu setia menemani itu mengangguk. Ia tersenyum tulus.

Aku ikut tersenyum, tapi air mata mulai merembes satu persatu membasahi pipi yang mulai terasa tirus. Bagaimana tidak? Tak jauh dari tempatku berdiri Papa dan Mama duduk dengan senyum mengembang. Jadi tamu yang mereka tunggu, tak lain orang tuaku.

Tak sadar kaki ini melangkah setengah berlari. Hal yang sama juga dilakukan mereka. Kami saling memeluk erat. Ruang keluarga itu menjadi ajang tangis.

"Kenapa gak bilang?" Pertanyaan itu terlontar secara bersamaan dari mulutku dan Mama. Tapi dengan maksud yang berbeda. Aku mempertanyakan kedatangannya, Mama mempertanyakan kenapa tidak memberitahu tentang penyakitku, mungkin.

Sesaat kami berdua saling pandang lalu tertawa pelan. Lantas sama-sama menyeka mata masing-masing.

Duh, kenapa jadi cengeng begini.

"Kamu pikir di dunia ini kamu sebatang kara, hah?" Mama menepuk pipiku pelan.

"Menganggap penyakitmu hanya akan menjadi beban bagi kami? Apa Papa dan Mama ini sudah tak ada artinya lagi di matamu?"

Mama memberondong dengan pertanyaan. Di pelupuk matanya telah dipenuhi bening yang perlahan menyeruak. Bahkan hidung wanita surgaku itu telah memerah.

"Ih, Mama cengeng."

Aku berusaha menggodanya. Tertawa di sela isak. Biar bagaimanapun aku tidak mau terlihat lemah di depan mereka. Terutama Mama.

"Emang kamu gak?" sahutnya cemberut.

Aku mengusap air mata yang merembes membasahi pipi yang mulai terlihat turun itu. Ah Mama, kenapa selama ini aku tak menyadari bahwa ia mulai termakan usia?

Satu yang ia harapkan selama ini selalu kutepis. Menikah. Rasa sesal menyelinap tiba-tiba. Cukup sudah bantahan yang aku lontarkan. Jika pernikahanku bisa mendatangkan sedikit bahagia di hatinya, kenapa tidak?

"Untung Roby memberi tahu kami," sela Papa. Ia menyalami pria itu.

"Terima kasih, Nak. Telah menjaga putri kami dengan baik," lanjutnya.

Aku menatap Roby.

Ia mengangguk dengan senyum yang mengambang di sudut bibirnya.

"Mereka berhak tau," sahutnya.

"Aku hanya gak mau Papa dan Mama jadi kepikiran," ujarku pelan.

"Gadis bodoh! Bagaimana bisa kamu berpikir seperti itu?" Papa menatap kecewa. Lalu mengacak rambutku.

"Maafkan Aira, Pa. Ma."

Kami kembali saling memeluk. Berakhir ketika Bunda dan Rania muncul dari dapur. Mereka membawa aneka hidangan dengan nampan. Lalu menatanya di meja ruang tengah itu.

"Hai, kalian udah nyampe juga ternyata."

Senyumnya lebar begitu menatapku dan Roby.

"Heran ya kenapa tiba-tiba ada Papa dan Mamamu, Ai?" ujarnya sambil melanjutkan pekerjaan.

DILEMA (Antara Cinta dan Persahabatan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang