Bab 17

156 45 2
                                    


         "Alika?!"

Mataku membulat saat menyadari siapa yang tengah berdiri di depan mata.

Wanita itu tersenyum lembut.

"Apa kabar, Ai?" sahutnya ramah.

"Baik, Alhamdulillah. Senang bisa bertemu lagi," sahutku basa basi. Padahal kalau boleh jujur, ia juga salah seorang yang tak ingin aku temui lagi selain Ardian.

Sejatinya aku ingin menutup segala kenangan tentang mereka.

"Benarkah?" sahutnya. Menatapku berbinar.

Mungkinkah ia masih mengharapkan aku menerima tawaran gilanya tempo hari?

Sesaat kami saling cipika-cipiki. Lalu kembali melanjutkan obrolan, yang bagiku hanya sekedar basa-basi. Ternyata sejak dulu butik ini juga jadi langganan wanita itu setiap kali pulang ke kotanya.

Setelah masing-masing selesai berbelanja, Alika mengajakku mampir ke sebuah coffee shop yang tak jauh dari butik. Ada yang ingin dibicarakan katanya.

Lagi-lagi aku tak bisa menolak.

Kadang rasanya aku ingin tertawa. Mentertawakan takdir yang entah berpihak pada siapa.

Aku memutuskan pindah ke kota ini demi menghindari Ardian. Tapi siapa sangka kalau Alika ternyata orang asli sini.

Dia pun kembali pindah ke wilayah paling timur pulau Jawa ini karena ingin lebih fokus mengurus kedua orangtuanya yang sudah mulai uzur.

"Jadi kalian memutuskan untuk menetap di sini atau hanya untuk sementara waktu?" tanyaku. Sedikit tercekat saat ia menutup cerita.

"Kemungkinan iya. Saya juga sudah resmi pindah tugas ke salah satu RSUD di sini."

Aku mengangguk.

Semakin kuat keinginan untuk segera pergi. Menyusul Roby--suamiku.

"Gak nyangka ya, kita kembali satu kota," ujar Alika lagi. Ia tertawa kecil.

Andai Alika tau apa yang suaminya lakukan sejak pindah ke sini dengan segala obsesinya.

"Mungkinkah ini yang namanya takdir?"

Aku menarik napas panjang.

"Takdir?"

"Iya. Siapa tau kita memang ditakdirkan untuk berbagi," lanjutnya.

Aku yang hendak menyeruput secangkir macchiato nyaris tersedak. Perlahan cangkir minuman yang lebih dominan sentuhan milky daripada kopi itu sendiri, aku letakkan kembali.

Aku pernah mendengar ada wanita yang dengan sangat ikhlas berbagi suami. Bahkan ada di antaranya yang memilihkan sendiri madu untuk suaminya itu.

Hanya saja wanita modern yang notabene berpikir lebih rasional melakukan itu sama sekali tidak masuk di otakku. Jika seorang Alika rela melakukan itu, pasti ia punya alasan yang kuat.

Aku menatapnya menyelidik.

"Jangan terlalu naif, Alika Bukankah kita telah pernah membahas ini?Hubunganku dan Ardian hanya masa lalu. Atau lebih tepatnya rasa kehilangan ada karena dulu kami begitu dekat, tak lebih dari itu," sahutku.

Apa yang aku katakan ini benar adanya. Sekarang aku mulai menyadari bahwa Ardian tidaklah sepenting itu.

"Jangan bohongi diri sendiri. Saya beneran ikhlas." Ia menatap sendu.

Ada apa dengan wanita ini?

"Atas dasar apa? Kasihan?" Aku menebak.

Tersenyum miris demi mengingat ucapan Roby tempo hari. Alika tahu tentang penyakitku. Mungkin ia takut aku mati penasaran karena rasaku yang tak berbalas.

DILEMA (Antara Cinta dan Persahabatan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang