Bagian 15

198 41 6
                                    


       "Rob, aku keknya udah capek kerja deh," ujarku menatap layar laptop sambil tengkurap di ranjang.

"Lha, kenapa tiba-tiba? Kemarin disuruh resign malah gak mau," sahut Roby dari seberang sana dengan dahi berkerut. Berdiri di samping ranjang menghadap layar monitor.

"Lha iya, orang resign tapi cuma duduk manis di rumah aja buat apa? Kan bosan." Aku cemberut.

Jadi ... ceritanya nyindir nih?" sahutnya tertawa kecil sambil membuka satu persatu kancing kemeja yang ia kenakan.

Sepertinya priaku itu baru saja pulang.

Aku menelan saliva yang tetiba terasa seret di kerongkongan, menyaksikan pria yang telah menjawab qobul Papa itu telanjang, hanya menyisakan boxer. Hingga otot-otot perutnya pun terlihat jelas saat ia melangkah mendekati layar monitor.

Sayangnya meskipun telah sah kami masih seperti dua orang asing. Jangankan menunaikan kewajiban, menyaksikan priaku itu telanjang dada secara langsung aja belum pernah. Dan pemandangan di balik layar itu cukup membuat berdebar. Duh!

"Sayang ... yah dia malah ngelamun," ujarnya lantas naik ke ranjang dan tengkurap juga.

Aku terkesiap.

"Kangen ya?" Roby mendekatkan wajah ke layar, berbisik.

Wajahku menghangat. Malu sekali rasanya saat tertangkap basah. Tapi bukan Aira kalau gak jago ngeles.

"Wajar kan? Toh yang dikangenin suami sendiri," sahutku lantas menggigit ujung lidah.

Roby tertawa semringah.

"Aish ... manis banget istriku. Jadi pengen cepat pulang," godanya sambil menaikturunkan kedua alis. Menyebalkan!

"Jadi kalau gak dikangenin gak mau pulang?" Aku cemberut.

"Ya gak lah, buat apa?" Ia menatap serius, menopang dagu dengan kedua tangan.

Aku tersenyum. Bahagia. Sering berinteraksi walau cuma sekedarnya perlahan memupuk rasa ini kian mengakar. Mungkin itulah ajaibnya sebuah ijab qobul. Cinta tumbuh dengan sendirinya setelah janji sakral terucap.

"Rob," ujarku setelah kami saling terdiam untuk sesaat.

"Ya?"

"Sampai kapan kita akan seperti ini?"

Roby menarik napas panjang. Lantas bangkit bersila dan menaruh laptop itu di pangkuannya. Ia menatap lekat.

"Aira Sayang. Segalanya perlu waktu kan?" Ia menatap dalam.

Aku hanya diam.

"Oh ya, pasport kamu udah jadi?" tanyanya kemudian.

Aku menggeleng, "Belum sih."

"Kok lama?"

"Entah."

Lalu kembali saling diam.

Keinginan bersama suami bukan saja karena tidak tahan jauh darinya. Juga untuk menghindari Ardian. Memikirkan setiap hari bertemu pria itu bukan tidak mungkin nantinya akan menjadi batu sandungan pada pernikahan kami.

Terlebih sebagai seorang istri sejauh ini hanya status di atas kertas. Bahkan sampai hari ini aku masih utuh sebagai seorang gadis. Masih disegel.

Sepertinya kesungguhanku benar-benar sedang diuji. Apalagi akhir-akhir ini Ardian semakin gencar mendekati. Aku tak tau apa yang ada di pikiran laki-laki itu. Yang membuat bingung lagi ke mana Alika? Kenapa seolah-olah ia sengaja membukakan jalan?

Sedangkan Robi? Sampai saat ini aku masih menutup rapat tentang Ardian padanya. Selain tidak ingin membuat ia kepikiran juga takut jika priaku itu nantinya malah salah paham.

DILEMA (Antara Cinta dan Persahabatan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang