Aku tersenyum sendiri mengingat kejadian tadi pagi. Bagaimana mungkin dengan sok kuasanya aku malah mengusir si tuan rumah? Kalau sudah begini apa aku masih punya muka untuk bertemu? Kalau ia segera hengkang dari sini, kalau ternyata masih lama?"Kak."
Lamunanku terhenti saat tiba-tiba si cempreng Rania menepuk pundakku pelan.
"Ayooo ... ngelamunin apa?" godanya sambil mengedipkan sebelah mata.
"Siapa yang ngelamun?"
"Buktinya aku ketuk pintu aja Kakak gak dengar?"
"Oh ya ... kamu ngetuk pintu? Kok tumben?"
"Isht ... Kakak." Gadis itu cemberut.
Aku terkekeh. "Ada apa?"
"Dipanggil Bunda."
"Bunda sudah pulang?" sahutku sambil melirik jam weker di atas meja rias. Pukul 4 sore. Pantas.
"Hu'um." Gadis itu mengangguk.
Sejak aku resmi jadi anak angkatnya, ibu kost memang memintaku memanggilnya dengan sebutan 'bunda'. Seperti anaknya yang lain.
Ada apa? Sebersit pertanyaan singgah di benakku. Biasanya Bunda kalau perlu apa-apa ia yang akan datang sendiri. Apa mungkin aku sudah tak punya tempat lagi di rumah ini? Mungkin saja anak lelakinya itu keberatan setelah kejadian di dapur tadi pagi.
Duh, jangan dong! Aku sudah terlanjur betah.
"Bunda di mana?" Aku bertanya pada Rania karena tidak melihat wanita itu di mana pun.
"Halaman belakang, Kak."
"Halaman belakang?" tanyaku dengan dahi berkerut, bingung.
Buat apa wanita paruh baya itu ngajak bertemu di sana. Tak seperti biasanya. Tanpa jawaban apa pun gadis itu telah menghilang di balik pintu kamar. Aku hanya mengangkat pundak lalu melanjutkan langkah.
Tumben banget tuh anak gak ngekor, biasanya nempel terus kayak daki di cucian kotor.
Langkahku terhenti di teras belakang. Mengedarkan pandangan ke seluruh halaman. Tak ada siapa pun di sini. Sunyi. Yang terdengar hanya percik air yang mengalir kecil di kolam ikan koi. Kata Bunda itu ikan kesayangan Roby. Kalau pulang di sinilah tempat favoritnya menghabiskan waktu senggang.
Roby?
Jangan-jangan ....
Saat akan kembali berbalik.
"Kenapa masih di sana?"
Sosok yang tengah menguasai pikiranku menjulang muncul dari gang kecil samping rumah. Pria itu mengenakan kaos putih oblong dengan celana longgar sebatas lutut. Rambutnya yang tertata rapi masih terlihat setengah basah. Tampan.
Aroma maskulin menyeruak saat ia mendekat.
Jangan tanyakan seberapa gugupnya aku. Andai memungkinkan secepatnya ingin menghilang dari tatapan setajam mata elang itu. Namun anehnya langkahku malah mendekat ke kursi taman. Dimana ia telah lebih dulu berada di sana.
Mau bagaimana lagi? Terlanjur basah, mending nyebur sekalian.
"Lo ...?" tanyaku pelan, setelah berhasil menguasai diri.
"Kenapa? Gak nyangka ya?" sahutnya datar. Senyum tipis terukir di bibirnya. Tapi aku melihat seperti sebuah ejekan.
"Ada apa?" Aku balik bertanya.
"Oh ya, maaf atas kejadian tadi pagi. Salah sendiri sih ngapa lo gak perkenalkan diri. Untung aja gak gue pentung," lanjutku seenaknya.
"Pentung?" Ia mengangkat sebelah alis. Menatapku dengan kedua tangan terlipat di dada.
KAMU SEDANG MEMBACA
DILEMA (Antara Cinta dan Persahabatan)
General FictionRasa yang tertinggal membuat Aira harus pergi menjauh dari orang-orang yang ia sayangi