Bagian 14

211 38 2
                                    


      Aku melangkah cepat memasuki ruang kerja. Jarum jam dinding menunjuk di angka 7.45 WIB. Harusnya kantor sudah ramai. Tapi pada ke mana mereka?

Saat tengah membenahi meja kursi yang berdebu karena beberapa hari ditinggal sang pemilik, aku dikejutkan dengan segerombolan kecil tukang rusuh. Siapa lagi kalau bukan teman-teman seruangan.

Mereka beramai-ramai berkumpul di mejaku. Mengelilingi. Semua mata tertuju dengan gayanya masing-masing. Ada yang berdiri berpangku tangan, ada yang berkacak pinggang dan ada juga yang menaruh kedua sikunya ke meja sambil bertopang dagu. Aku seperti tengah dihakimi.

"Ada apa?" Akhirnya tanya itu terlontar setelah menatap mereka satu persatu.

Sindy yang tadi berdiri berkacak pinggang, merogoh ponsel pintarnya. Setelah mengusap layar pipih itu ia menyodorkannya padaku.

"Nih!"

Mataku membulat sempurna saat menatap layar di depan. Foto pernikahanku terpampang nyata di layar ponsel. Dalam akun Instagram RaniAzka.

Gadis yang baru kemarin siang resmi jadi adik iparku itu memang seorang selegram. Tapi aku sungguh tak menyangka followers nya lebih dari 100k. Dan sialnya lagi dia meng-upload foto pernikahan itu tanpa izin.

"Jangan bilang kalau ini hoax," ujar Sindy lagi yang diangguki mereka berbarengan. Menatap tak sabar menanti jawaban.

Aku menghela napas panjang. Kalau sudah begini apa masih bisa ditutupi?

Bukan tidak mau membagi kabar bahagia, hanya saja sekarang bukanlah waktu yang tepat. Pernikahan kilat itu terjadi karena Robi ingin mengajakku berobat ke Singapura. Berhubung karena belum memiliki surat-surat yang lengkap makanya aku belum bisa berangkat.

Rencananya undangan baru akan disebar pada saat resepsi setelah selesai pengobatan nanti. Itu pun kalau Allah masih memberiku umur panjang. Entahlah!

Sejujurnya aku kasihan pada Roby. Bagaimana kalau ternyata takdir berkehendak lain? Membayangkan pengorbanan laki-laki itu akan menjadi sia-sia membuat hatiku mencelus.

"Hei ... ditanya malah ngelamun," ujar Vita.

"He'eh." Aku tersentak. Sesaat memandangi wajah-wajah kepo akut satu persatu. Tergelitik rasa ingin menggoda mereka. Setidaknya dengan demikian keresahan ini pun bisa sedikit berkurang.

"Penasaran ni yee?" Aku tersenyum jahil.

"Airaaa."

Aku pun terpingkal melihat muka mereka yang manyun. Malah ada yang geregetan sambil komat-kamit gak jelas. Bibir mencong kiri mencong kanan. Lucu sekali.

"Tidak. Kami memang telah menikah. Dan pemilik akun itu adik ipar gue," sahutku setelah puas mentertawakan ekspresi mereka.

"Kenapa mendadak? Setau gue bukannya lo itu jomblo abadi?" celetuk Sari seenaknya. Masih kesal mungkin karena aku tak menanggapi serius. Yang disambut tawa berderai oleh yang lainnya.

"Njirr!" Aku pun ikut tertawa.

Sari ada benarnya. Meskipun hubunganku dengan Roby sudah berjalan kurang lebih enam bulan, toh kami jarang sekali bertemu. Cerita malam mingguan layaknya pasangan orang yang pacaran tak pernah ada dalam kamus cinta Aira-Roby. Jadi wajar apa yang mereka sangkakan.

"Lo kok bisa-bisanya nyasar ke pelukan Abang ganteng ini, gimana ceritanya?" Rima bertanya antusias.

"Dia anak ibu kost gue."

"What?" Cindy berteriak. Lebay.

"Jadi kalian pacaran satu atap?" lanjutnya, "jangan bilang lo ...."

DILEMA (Antara Cinta dan Persahabatan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang