Bagian 8

1.3K 156 8
                                    


      Mungkin benar. Untuk menghapus suatu kenangan harus menciptakan kenangan baru di tempat yang sama.

Jika selama ini aku tak bisa melupakan Ardian itu karena memang tak pernah mencoba membuka hati untuk sebuah nama lain. Setiap lelaki yang coba mendekati selalu aku bandingkan dengan pria itu. Jelas saja Ardian punya nilai lebih dibanding mereka karena aku mengenalnya sejak masih kanak-kanak. Sementara pria yang mencoba masuk dalam kehidupanku adalah orang baru.

Lalu bagaimana dengan Roby?

Kami memang baru kenal, tapi aku tahu dia sejak menginjakkan kaki di kota ini. Tepatnya sejak aku menjadi bagian dari keluarga Bunda Ifa. Selain itu ia punya segalanya. Tampan, berasal dari keluarga baik-baik, berpenghasilan lumayan. Dan yang terpenting bukan suami orang.

Kenapa tidak mencoba memberi kesempatan pada diri sendiri untuk move on?

Lalu bagaimana kalau ternyata kami pun tak berjodoh? Bukankah itu nantinya hanya akan merusak hubungan baik yang selama ini telah terjalin antara aku dan keluarga ini?

Aaah ...!

Aku membalikkan tubuh entah untuk yang ke berapa kalinya. Semua begitu tiba-tiba, dan aku tidak diberi kesempatan lebih untuk menentukan pilihan.

Baru juga akan memejamkan mata, azan Subuh berkumandang dari mesjid yang tidak jauh dari rumah Bunda Ifa. Agak malas untuk bangun sebenarnya. Tapi kupaksakan karena kalau tidak sudah pasti subuhku akan kebablasan. Lagi pula waktu subuh itu pendek.

Menyadari hal itu, aku segera bangkit. Ketika keluar dari pintu kamar aku berpapasan dengan Roby di ruang tengah. Senyum ramah terukir dari bibir pria itu, sebelum akhirnya  berlalu.

Aku tertegun. Menatap takjub punggung lebar yang menghilang dalam  bias cahaya matahari yang mulai terlihat di ufuk Timur.

Wajah Roby terlihat begitu bercahaya dalam balutan baju koko biru muda dengan warna peci yang senada. Ia tergesa menuju mesjid. Adakah ini jawaban dari kegalauanku selama ini?

Tak ada yang perlu dikagumi sebenarnya, karena bukankah salat adalah kewajiban setiap muslim. Hanya saja di zaman ini sulit untuk menjumpai pria dengan paket lengkap seperti Roby. Selain Ardian tentunya.

Pantas saja saat di kafe waktu itu, dia menghilang beberapa waktu setelah memperkenalkan aku kepada teman-temannya. Dan saat itu pas di waktu Magrib.

Solat Subuh dilaksanakan dengan sedikit terburu-buru karena rasa kantuk yang teramat sangat.   

Cahaya matahari yang menyusup di sela gorden tepat mengenai wajah. Aku bangkit sambil mengucek mata beberapa kali. Menguap untuk mengusir kantuk yang masih saja enggan meninggalkan kelopak mata. Baru sadar kalau ternyata aku tertidur di sajadah. Masih lengkap dengan mukena.

Ketika menatap ke meja rias, aku terlonjak kaget. Pukul 7.50.

Roby.

Sudah berangkat kah laki-laki itu? Bagaimana ini? Aku belum sempat membuat pilihan. Jujur sampai detik ini keraguan itu masih ada. Yang aku sendiri tidak tahu entah untuk apa.

Saat masih dalam kebingungan, deru mobil meninggalkan pekarangan menyentakkan lamunan. Tanpa berpikir panjang lagi refleks aku berlari keluar kamar setelah melepas mukena dan melemparnya ke sembarang arah. Tak mempedulikan kakiku yang kembali terasa nyeri.

"Robiiii ... tunggu!"

Terlambat!

Mobil itu telah meluncur mulus di jalan raya. Aku terhenyak di depan pintu keluar. Ada apa ini? Kenapa rasanya ada sesuatu yang hilang? Seperti separuh hatiku terbawa pria itu. Yang disesalkan ia belum sempat mengetahui.

DILEMA (Antara Cinta dan Persahabatan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang