Entah pengaruh kaki sakit atau memang karena pikiran yang tidak tenang, malam ini aku tak bisa tidur dengan nyenyak. Aku melirik jam weker yang terletak di meja rias. Jam 3 dini hari.Rasa dahaga yang menyerang memaksaku bangun dan melangkah keluar kamar. Cerek yang biasa selalu tersedia penuh di meja sudut kamar, kali ini telah kosong. Aku lupa mengisinya sebelum tidur tadi. Kebiasaan setiap kali tersentak bangun pasti minum itu telah berlangsung sejak lama.
Ketika menginjak lantai dapur, mataku menangkap sosok seseorang yang tengah mengambil segelas air putih dari dispenser. Roby. Ia menoleh saat menyadari ada seseorang yang datang.
Aku menatapnya sekilas. Entah kenapa ada rasa canggung yang menyelinap.
"Belum tidur?" Ia menyapa.
"Sudah, ini baru bangun."
"Mau aku isiin sekalian?" tanyanya begitu melihat apa yang aku bawa.
"Gak usah, makasih. Gue bisa sendiri."
Dia mengangkat pundak, seolah mengatakan, 't'serah lo deh'. Lalu ia menyingkir dari depan dispenser itu menuju meja makan. Dengan langkah sedikit diseret kini aku yang menggantikan tempat di mana tadi ia berdiri.
"Ai ...." Ia kembali bersuara.
"Ya," sahutku datar tanpa menoleh. Aku masih fokus ke cerek yang tengah diisi.
Terdengar laki-laki itu menarik napas panjang.
"Kamu marah?"
Duh! Pertanyaan macam apa itu.
Aku menoleh, menatapnya sekilas. Wajah yang biasa tengil itu ternyata bisa juga serius. Bahkan sedikit kusut. Sepertinya ia belum tidur sama sekali.
"Apa itu penting?" sahutku pelan.
Ia menghela napas berat lalu membuang pandang. Aku kembali fokus dengan cerek di tangan. Penuh. Setelah memastikan tertutup rapat, aku menepikan ke pinggir. Lalu mengambil sebuah gelas dan kembali mengisinya.
Gelas yang telah terisi penuh tadi aku bawa ke meja makan. Lalu duduk di salah satu kursi. Tepat berseberangan dengan Roby. Laki-laki itu memperhatikan semua gerak-gerikku, aku tahu.
Hanya beberapa tegukan, gelas itu telah kosong. Aku kembali bangkit. Membawa gelas bekas minum untuk mencucinya ke wastafel. Pendengaranku menangkap kursi yang digeser perlahan. Sepertinya laki-laki itu akan pergi. Karena gengsi aku menahan diri untuk tidak menoleh.
Tubuhku membeku seiring gelas yang diletakkan persis di samping gelas bekas minumku. Roby berdiri begitu rapat, di belakang. Nyaris memeluk. Bahkan hembusan napasnya terasa menggelitik di belakang telinga kanan.
Aku menggeser langkah ke kiri, memberi ruang untuk laki-laki itu. Belum juga sempat berpindah, tiba-tiba tangan kirinya meraih pinggangku. Aku bergeming. Sama sekali tidak menyangka Roby akan melakukan ini.
"Rob," desisku pelan.
Bukannya melepas malah tangan kanannya ikut melingkar di sana dengan dagu bertengger di pundakku.
"Tetaplah seperti ini, Aira. Sesaat saja."
Suara itu begitu lirih. Ada apa dengannya?
"Rob, Roby ... lepasin, ini tidak benar." Suaraku bergetar seiring debar yang membahana di dada. Takut.
Tak terbayang bagaimana tanggapan Bunda dan Rania andai mereka melihat semua ini. Apa yang dilakukan Roby jelas bukan sesuatu yang pantas.
Lelaki itu melepas rangkulannya perlahan. Aku segera menjauh begitu pelukan itu melonggar. Masih dengan tubuh yang gemetar kuraih cerek yang tadi aku isi. Lalu secepatnya melangkah meninggalkan dapur.
![](https://img.wattpad.com/cover/173400365-288-k712815.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
DILEMA (Antara Cinta dan Persahabatan)
Fiksi UmumRasa yang tertinggal membuat Aira harus pergi menjauh dari orang-orang yang ia sayangi