"Nikah?"
Sesaat aku tertegun sebelum akhirnya membalikkan badan. Menatap wajah datar yang meski tanpa ekspresi, ada keseriusan terpancar di sana.
"Kenapa? Kamu ga percaya?" Ia balik bertanya.
Aku menarik napas panjang. Lalu menyandarkan tubuh pada daun pintu. Kembali merapatkan jaket sambil mendekap kedua tangan di dada. Udara malam mulai terasa menusuk hingga ke tulang sumsum. Dingin.
Ada perasaan risi saat menyadari Roby melirik jaket yang hanya dipinjamkan. Tapi aku lupa mengembalikan, malah lagi-lagi mengenakannya.
"Jaket lo," desisku pelan.
"Pake aja."
Aku mengangkat pundak. Lalu membuang pandang saat netra ini bertemu.
"Gimana Ai?" Ia kembali bertanya setelah menarik napas panjang.
"Karena lo kasihan?" Entah kenapa pertanyaan itu yang tiba-tiba terlintas.
Selama enam bulan hubungan yang telah kami jalani, aku tahu betapa besar perhatian yang dicurahkan Roby. Ia menyayangi dengan tulus, itu benar. Tapi entah kenapa perhatian yang ditunjukkan Roby aku anggap tak lebih daripada perhatian seorang kakak lelaki kepada adik perempuannya.
Aku menyayangi Roby. Merindukan jika sehari saja ia tidak menghubungi. Tapi satu hal yang pada akhirnya aku sadari, debar itu tak pernah sama. Hingga detik ini ia belum benar-benar bisa menggantikan posisi Ardian.
Lalu salahkah?
Entah!
Yang pasti aku sendiri pun tidak menginginkan seperti ini.
Roby mendekat setelah saling tanya tanpa jawaban itu terlontar. Ia meraih jemariku dan menggenggamnya lembut. Menatap dalam dengan pandangan yang aku sendiri tak tahu artinya apa.
Namun berdiri dalam jarak yang sedekat ini, aku dapat merasakan jantung pemuda itu berdetak cepat di balik dadanya yang bidang.
"Permintaanku barusan serius, Aira. Pikirkanlah! Masih ada waktu dua hari buat kamu ngasih jawaban."
"Dua hari?"
"Ijinkan aku menjaga dan merawat kamu."
"Rob ...."
"Aku sayang kamu, Ai."
Ucapan Roby yang begitu enteng dan tiba-tiba makin menguatkan dugaan, bahwa apa yang ia rasakan tak lebih dari sekelumit kasihan. Bukan cinta. Hanya saja mungkin lelaki berhidung mancung itu belum menyadari. Lalu salahkah jika aku merasa kehadiran diri ini hanya akan menjadi beban baginya? Tanpa sadar setitik bening lolos begitu saja.
Aku membuang pandang, tak ingin Roby menyadari.
Sesaat tertegun lantas memejamkan mata saat secara tiba-tiba bibir pemuda itu mendarat lembut di keningku. Meresapi hangatnya sentuhan yang penuh ketulusan. Perasaan damai menyusup begitu saja. Lalu apa lagi yang aku inginkan?
"Tidurlah! Udara malam gak baik buat kesehatan kamu," lanjutnya.
Tatapan lembut tapi penuh ketegasan itu tak terbantahkan. Yang kulakukan hanya mengangguk lantas mengayunkan langkah menuju kamar.
"Malam Ai."
Aku kembali menoleh. Kali ini ia yang menggantikan tempatku bersandar di daun pintu. Tatapan itu luruh. Perasaan bersalah tiba-tiba menyeruak. Tegakah aku menjadikannya sebagai tempat pelarian? Sungguh demi apa pun ia pantas mendapatkan yang terbaik. Mungkin bukan aku. Gadis pesakitan yang di hatinya masih menyimpan sekelumit kenangan tentang pria lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
DILEMA (Antara Cinta dan Persahabatan)
Genel KurguRasa yang tertinggal membuat Aira harus pergi menjauh dari orang-orang yang ia sayangi