Bab II Perjanjian Kontrak Nikah

4.1K 135 2
                                    

Sedari tadi kerjaanku mondar-mandir tidak jelas di depan cermin seperti setrika. Seolah terjebak dalam situasi yang kuciptakan sendiri. Ya, kalau bukan karena warisan abi, mana mungkin aku menerima untuk dijodohkan. Terlalu kolot menurutku.

Aku kembali mengingat saat bertandang ke rumah Akhwat itu. Penampilan Khumairah yang membuatku tentu tidak nyaman bersamanya. Membayangkan dia menjadi isteriku, rasanya seperti momok yang sangat menakutkan.

"Apa yang harus kulakukan sekarang?" tidak henti-hentinya mencoba memutar otak untuk mendapatkan ide agar bisa mengatasi masalah yang membelitku.

Akibat berpikir yang terus-menerus membuat kepalaku menjadi migran, dan memutuskan untuk menuju ke dapur mencari sebuah obat yang mungkin bisa meringankan sakit kepala ini.

Sebutir obat bersamaan dengan air putih kuteguk. Terlalu pusing hingga tidak menyadari kedatangan ummi di belakangku.

"Yusuf ... kamu kenapa, Nak?" tanya ummi yang mulai cemas dan duduk di hadapanku.

"Hanya sedikit pusing, M
i," jawabku dengan memegang kepala.

Ummi bangkit dari tempat duduknya.
Berdiri persis di belakang lantas memijit kepalaku. Pijitan ummi sedikit membuat kepalaku menjadi ringan.

"Mi ... apa perjodohan ini memang tak bisa dibatalkan?" bujukku kembali.

Seketika ummi menghentikan pijatannya dan kembali duduk di hadapanku.

"Suf, bukankah kamu sudah mengiyakan?"

"Iya sih, Mi. Akan tetapi ... kenapa sih Ummi begitu ingin dia menjadi isterinya Yusuf?" akhirnya aku tak dapat menahan untuk tidak bertanya tentang hal itu kepada ummi.

"Di zaman sekarang ... jarang sekali ada yang seperti dia, Nak. Dia begitu sopan, lembut, baik dari segi pendidikan pun dia tidak mengecewakan. Jadi sepertinya tidak ada alasan untukmu menolak gadis sebaik dia."

"Bagaimana dengan wajahnya, Mi? Dia memakai cadar. Andaikan Yusuf memutuskan nanti untuk menikahinya, bukankah seperti Yusuf membeli kucing dalam karung?"
Ummi malah tersenyum mendengar perkataanku. Seketika ummi menggenggam tanganku.

"Sekarang Ummi tanya, kamu mau menikah karena dia cantik atau karena akhlaknya yang baik? Kalau Ummi jadi kamu, Ummi akan menerimanya. Wanita cantik belum tentu akhlaknya baik, tapi ... wanita yang akhlaknya baik sudah tentulah cantik. Ingat, Nak. Kecantikan akan pudar, namun cantik dari hati akan tetap terpancar sampai kita berusia senja."

Ummi menepuk-nepuk punggung tanganku, tersenyum, kemudian berlalu meninggalkanku.

Aku seperti tertampar mendengar kata-kata ummi. Apa yang ummi katakan semua benar.

"Aku harus menemuinya, untuk memastikan bagaimana pendapatnya tentang perjodohan ini. Semoga saja dia juga menolak sama sepertiku," gumamku dalam hati.

Pagi-pagi sekali aku sudah memutuskan untuk pergi menuju ke rumah Khumairah. Mobilku berhenti tetap di depan rumah itu. Awalnya aku ragu-ragu, apakah harus turun menemui atau tidak.

Jam menunjukkan 06.30 wib. Masih terlalu pagi memang untuk membahas ini dengannya, tapi aku sudah tak dapat menahan rasa keingintahuanku mengenai pendapatnya.

Bel pintu mulai kutekan. Seperti kemarin, bik Atun mempersilahkan masuk. Aku mulai melangkahkan kaki menuju ruang tengah, di sana sudah ada bapak Irsyad dan isterinya sedang sarapan pagi. Begitupun Khumairah.

"Assalaamu'alaikum," sapaku kepada mereka.

"Wa'alaikumus salam," jawab mereka kembali sembari menyambut kedatangan ku.

BIDADARI DUNIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang