Akhirnya kami tiba di rumah sakit. Khumairah masih terbaring lemah. Segera dipasang alat bantu nafas dan ditangani dokter.
Sementara menunggu Khumairah, aku membawa Ahmad ke dokter lain untuk mengobati luka-luka di wajahnya. Masih terlihat jelas wajahnya yang lebam dan hidungnya yang mengalami mimisan karena pukulan-pukulan yang kulayangkan. Ahmad menahan sakit ketika seorang perawat mengobati lukanya.
"Aduh ... pelan-pelan Sus," kata Ahmad yang kesakitan ketika suster mengolesi obat merah di wajahnya.
"Maaf Mas, memang apa yang terjadi?"
"Habis jatuh Sus."
"Masa sih? Sampai babak-belur begini?" Tanyanya penasaran.
Ahmad hanya tertawa. Setelah memberikan obat, aku dan Ahmad kembali ke kamar Khumairah untuk melihat keadaannya.
Kami berdua memasuki kamar Khumairah. Dia masih tertidur. Jarum infus terpasang di tangannya. Kutarik sebuah kursi yang ada di dekat tempat tidur. Aku menggenggam tangannya dengan lembut.
"Suf ...." panggil Khumairah dengan suara lemah.
Aku menengok ke arahnya. Dia tersenyum.
"Kamu sudah sadar? Maafkan aku."
Kucium punggung tangannya."Sudah, tidak apa-apa." Matanya kemudian tertuju kepada Ahmad yang sedari tadi berdiri tak jauh dari kami.
"Akhi ... apa yang terjadi dengan wajahmu?" Tatapan Khumairah kembali kepadaku seakan penuh tanya. Aku mengalihkan pandangan ke tembok.
Sadar akan hal itu, Ahmad langsung menjawab perkataan Khumairah.
"Oh, bukan. Bukan karena akhi Yusuf. Tadi aku terpeleset dan wajahku terkena lantai."
"Benarkah? Tapi nampak seperti dipukuli."
Kami berdua diam. Untunglah ada dokter yang kembali memasuki ruangan kami untuk memeriksa kembali kondisi Khumairah. Ahmad pun berpamitan untuk pulang. Segera kuantar dia keluar ruangan.
"Maafkan aku Ahmad, karena aku wajahmu jadi seperti ini. Aku juga mau berterima kasih karena kamu sudah banyak membantu. Terlebih Soal tadi waktu di ruangan."
"Tidak apa-apa Akhi. Ini hanya salah paham saja."
Ahmad tersenyum. Aku menjabat tangan dan lantas memeluknya. Tak lama dia menghilang dari pelupuk mataku.
****
Sore ini hujan turun dengan derasnya. Ditemani secangkir kopi seakan membawaku ke kenangan lalu sewaktu masih kecil. Seperti sekarang, hujan seperti ini tak pernah dilewatkan hanya untuk sekedar mandi air hujan di sungai. Pernah sekali Khumairah pulang dari bermain air hujan, dan tak lama flu melanda serta berujung demam.
"Tuh kan, Umi bilang juga apa. Jangan bermain-main dengan air hujan. Ujungnya ya seperti ini," sembari memberikan obat penurun panas kepada Khumairah.
"Maaf ya Tante, ini salahku. Harusnya aku bisa mencegah Airah untuk tak ikut bermain air hujan," jawabku dengan perasaan menyesal.
"Tidak apa-apa,Nak. Tapi untuk lain kali jangan diulangi ya...."
"Iya Tante."
Namun itu hanyalah isapan jempol belaka. Faktanya sampai lulus SMA, kami tetap melakukannya.
Aku tersenyum ketika mengingat hal itu. Rasanya semua terasa cepat berlalu. Airah yang dulunya lugu dan manis, kini telah tumbuh menjadi sosok wanita yang lembut.
"Sedang memikirkan apa, Nak?" Suara umi tiba-tiba mengagetkanku.
Foto masa kecilku bersama Airah jatuh ke lantai karena terlepas dari genggamanku. Umi mengambilnya dan dilihat sosok anak kecil di foto itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
BIDADARI DUNIA
RomanceYusuf yang dijodohkan oleh kedua orang tuanya dengan seorang wanita bercadar yang bernama Khumairah, akhirnya bersedia menikahi Khumairah. Bukan dengan berlandaskan cinta, tapi karena warisan kedua orangtuanya yang akan jatuh ke panti sosial apabil...