Bab I Perjodohan

7.6K 177 4
                                    

"Apa? Dijodohkan? Abi sama Umi bercanda kan?" Aku sontak kaget ketika mendengar perkataan mereka.

"Tentu saja tidak, Nak. Bagaimana mungkin Abi dan Umimu bercanda tentang hal ini?" Abi tersenyum.

"Iya, Nak ... kami serius. Dia wanita yang baik. Sangat cocok untuk mendampingmu. Akhlaknya juga bagus," umi menambahkan.

Entah apa yang terjadi dengan mereka. Begitu mudah dan cepatnya mereka mengambil sebuah keputusan yang menurutku tak etis sama sekali.

Menjodohkanku dengan seorang akhwat yang dikenal satu bulan yang lalu, di sebuah majelis taklim yang diikuti oleh Umi.

Khumairah, nama akhwat yang selalu disebut-sebut umi yang dirasa sangat pantas mendampingiku kelak. Entah jurus apa yang diperbuat oleh akhwat tersebut, sehingga bisa mendapatkan hati umi yang notabene sangat sukar diluluhkan serta selektif dalam memilih pasangan hidupku.

Ya, banyak alasan yang diberikan umi, ketika memperkenalkan kekasihku enam bulan lalu. Beribu alasan diberikan yang tak masuk akal.

Pernah suatu hari itu, memberanikan diri mengajak kekasihku ke rumah serta memperkenalkan dia ke Umi dan Abi. Saat itu pula, Umi menolaknya. Kekasihku dirasa terlalu sexy dan mengumbar aurat. Tak lama, mereka memintaku untuk memutuskan hubungan dengannya.

Berbeda dengan akhwat ini. Tanpa pikir panjang, Umi justru yang meminta perjodohan dilakukan. Umi bilang, dia wanita yang sholeh, akhlaknya begitu baik.

"Jadi bagaimana, Nak? Apa kamu bersedia menikahi Khumairah?"

Aku berpikir sejenak. Bagaimana mungkin aku menikahi wanita yang tak pernah kukenal sebelumnya. Aku pun mencari ide bagaimana menggagalkan pernikahan ini.

"Baiklah, Mi. Akan tetapi, terlebih dahulu Yusuf mau melihat sosok akhwat yang umi banggakan itu," pintaku kepada umi.

Umi mengangguk setuju. Wajahnya terlihat begitu bahagia. Seperti mendapatkan hadiah umroh gratis.

"Umi setuju, dan akan atur mengatur pertemuan kalian. Umi juga yakin, setelah melihat Khumairah, kamu tidak akan bisa menolaknya," jawab umi dengan yakin sembari memegang tanganku.

Tanpa membuang waktu, umi lantas menghubungi pihak keluarga Khumairah dan memberitahu kalau kami akan datang silaturahmi ke rumahnya besok lusa.

****

Semenjak tadi, ummi belum beranjak dari cermin. Penampilannya takut terlihat tidak menarik ketika bertemu dengan keluarga Khumairah. Seolah-olah akan segera mengkhitbah akhwat itu.

Aku dan abi yang telah berada di dalam mobil membunyikan klakson agar ummi segera keluar menyusul kami. Setengah jam perjalanan, ummi terus-menerus membicarakan akhwat itu. Memuji-muji dan membanggakannya. Jujur, aku penasaran dengan sosoknya. Wanita seperti apa yang membuat ummi begitu menyukainya.

Tibalah kami di sebuah jalan menuju rumah Khumairah. Pepohonan yang rimbun berjajar rapih di sepanjang jalan. Bahkan cuaca panas pun tak terasa karenanya. Begitu sejuk, sampai pada akhirnya ummi memintaku untuk menghentikan laju mobil tepat di sebuah rumah.

Rumah yang bernuansa minimalis dengan di lapisi cat berwarna kecoklatan dipadukan dengan warna putih. Pagar setinggi 2,5 meter pun menyambut kedatangan kami.

Ketika kami berada di depan pagar, security datang bertanya dan membuka pintu pagar untuk mempersilahkan kami melewati pagar tersebut. Di area pintu terdapat berbagai macam tanaman hias terpajang. Bel pintu kami tekan, dan muncullah sesosok wanita tua dibalik pintu.

"Bapak Fathir dan keluarga ya? silahkan masuk, Nyonya dan Tuan sudah menunggu sedari tadi." Bik Atun ART mempersilahkan kami menuju ruang tamu.

Di sana telah menunggu orang tua dari Khumairah. Tapi aneh, wanita yang bernama Khumairah itu tak ada di sana. Setelah saling memberi dan menjawab salam, kami dipersilahkan untuk duduk.

"Bagaimana perjalanan kalian? Pasti macet sekali ya?" Pak Ikhsan, ayah dari Khumairah mulai membuka percakapan.

"Alhamdulillah, Bang. Lancar." Abi melempar jawaban bersamaan dengan bik Atun datang membawa minuman dan beberapa cemilan untuk disuguhkan kepada kami.

"Khumairah kemana Bang, kenapa tak terlihat?" tanya Abi mencari sosok akhwat itu.

"Sedang sholat, nanti akan menyusul. Bik, tolong panggilkan Khumairah. Suruh ke sini kalau telah selesai." Pinta pak Irsyad.

Dari sudut ruangan yang lain terdengar lantunan ayat-ayat suci Al-Quran.

"Maa syaa Allah ... suara siapa itu, Bu?" tanyaku kepada ibu Khumairah.

"Khumairah, Nak. Setiap selesai sholat, dia selalu mengaji." Terang ibu yang melahirkan anak yang berusia 25 tahun itu.

Sepuluh menit berlalu, belum ada tanda-tanda kedatangannya. Saat aku hendak memutuskan pulang duluan, tiba-tiba saja dari balik pintu kamar seorang akhwat yang mengenakan jilbab lengkap dengan niqab yang menutupi wajahnya datang menghampiri kami. Jilbab berwarna merah maroon perpaduan niqab berwarna hitam seolah tak memberikanku kesempatan untuk berkedip.

"Assalaamu'alaikum ...," sapanya kepada kami.

"Wa'alaikumussalam ...," jawab kami sembari memperhatikannya.

Aku sangat terkejut melihat wanita yang berada di depanku sekarang. Khumairah, wanita yang akan dinikahkan denganku. Aku hanya terdiam melihatnya. Bagaimana mungkin ummi bisa menjodohkanku dengan wanita yang lebih mirip kusebut ninja itu. Atau mungkin lebih mirip penampilan teroris.

"Aku harus menolak, ini tidak bisa dibiarkan," ucapku dalam hati.

Satu jam kemudian, kami memutuskan untuk berpamitan pulang. Saat tiba di rumah, aku langsung meminta untuk membatalkan perjodohan ini.

"Mi ... pokoknya aku tak mau menikah dengannya," pintaku kepada ummi.

"Kenapa, Nak? Khumairah anak yang baik, akhlaknya juga tak kalah bagus. Mereka juga dari keluarga yang terpandang. Jadi apa alasannya untuk menolak dia?" ummi menatapku bak laksana polisi yang sedang menginterogasi tersangka.

"Masa Ummi tega menjodohkanku dengan wanita yang aku rasa lebih mirip teroris seperti itu? dia seperti ninja." Celotehku dengan nada kesal.

"Yusuf ... jaga bicaramu, Nak. Ummi dan Abi tak pernah mengajarkanmu untuk berbicara seperti itu." Nada ummi sedikit meninggi.

"Tapi Mi ... aku tak menyukainya. Melihat wajahnya juga tidak pernah."
Aku mencari-cari sebuah alasan supaya ummi membatalkan perjodohan ini.

"Yusuf, kalau kamu tidak setuju ... Abi akan mencoret namamu dari warisan Abi. Abi akan menyumbangkan semuanya ke panti asuhan."

"Setuju, aku setuju!" tanpa berpikir panjang, aku mengiyakan permintaan orangtuaku.

Bukan karena wanita itu, tapi karena warisan abi. Sekarang aku berada dalam situasi yang rumit karena ucapanku itu.

BIDADARI DUNIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang