Bab VII Teman Masa Kecil

3K 115 4
                                    

Aku menatap wajah Khumairah sepanjang perjalanan pulang. Menyadari akan hal itu, Khumairah balas menatapku.

“Kenapa menatapku seperti itu? Apa ada yang salah dengan diriku?”

“Tidak, hanya saja ... kenapa kamu tak ingin bercerai dariku?”

“Karena aku tak ingin mengecewakan Abi.”

Pandangannya kembali lurus menatap jalan di luar kaca mobil.

Setibanya kami di rumah, Abi dan umi telah menunggu kedatangan kami berdua. Nampak jelas raut wajah abi yang ingin meminta penjelasan tentang kondisi rumah tangga kami sekarang. Aku dan Khumairah duduk persis di depan mereka berdua.

“Ada apa, Bi?” tanyaku dengan sedikit tegang.

“Bagaimana rumah tangga kalian selanjutnya? Apa kalian mau berpisah sementara pernikahan kalian belum cukup satu bulan.” 
Dengan nada sedikit emosi.

Aku dan Khumairah saling menatap, Khumairah seakan memberi kode untuk membiarkan dia berbicara.

“In syaa Allah tidak, Bi. Kemarin hanya terjadi selisih paham saja.” Selembut mungkin Khumairah menjawab dan menjelaskan kepada mereka.

Abi dan umi mulai percaya dengan ucapan  Khumairah. Namun, perkataan umi selanjutnya membuatku menjadi sedikit kaget.

“Syukurlah kalau kalian baik-baik saja. Nah, kalau begitu ... kapan kalian akan memberikan Umi seorang cucu? Umi dan Abi sudah tak sabar ingin menimang cucu dan di panggil Kakek dan Nenek,” katanya antusias.

“Bagaimana mungkin umi meminta seorang cucu dari hasil pernikahan nikah kontrak?” gumamku dalam hati.

Aku kembali menatap wajah Khumairah. Sepertinya Khumairah pun kaget.

“Iya ... Mi. Secepatnya Umi akan menjadi nenek.” Khumairah seakan berbicara untuk menyenangkan hatinya umi.

Setelah percakapan selesai, aku dan Khumairah kembali ke kamar dalam kebingungan. Umi memang tidak salah meminta seperti itu. Yang salah adalah, pernikahan kami ini hanyalah sebatas kontrak semata demi warisan abi. Bahkan Khumairah pun tak pernah tahu alasanku menikahinya karena apa.

“Bagaimana sekarang? Bahkan Abi dan Umi meminta seorang cucu dari pernikahan kita.” Aku mondar-mandir tak jelas.

Khumairah hanya diam, mungkin dia juga sedang berpikir bagaimana cara mengatasi masalah kami sekarang ini. Belum lagi maslaah antara dia dan Kat.

Khumairah berdiri dan mencoba menenangkanku. Diraihnya tanganku seolah menggenggam tangan suami yang benar-benar dicintai.

“Tenang saja, serahkan semuanya kepada Allah. Pasti ada jalan, salahnya adalah kenapa kita harus menikah kontrak. Itu saja.”

Setelah mengatakan hal itu, Khumairah membuka laci dan isi tasnya serta mengambil surat perjanjian kami. Di depan mataku, dia merobek kertas itu menjadi beberapa potongan-potongan kecil dan meremas-remas hingga membentuk sebuah bola.

Aku kaget, baru beberapa hari perjanjian itu kami tandatangani namun Khumairah telah memusnahkannya. Lantas bagaimana dengan pernikahan kami ini?

“Kenapa dirobek? Bukankah itu kontak nikah kita?” kataku tak percaya.

“Iya benar, bukankah itu yang menjadi permasalahannya? Aku merobek kertas itu, bukan berarti kamu bisa bebas kembali ke pelukan wanita itu. Sekarang, tak ada lagi namanya kontrak nikah. Pernikahan ya pernikahan. Pernikahan itu sakral, suci. Bukan untuk dipermainkan.” Khumairah berbicara panjang lebar.

Aku terdiam, bagaimana mungkin pikiranku tak sampai ke sana. Sedangkan wanita di depanku ini begitu mendambakan pernikahan yang sesungguhnya. Bukan pernikahan kontrak.

BIDADARI DUNIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang