Pulang

6.7K 714 68
                                    

Aku tidak ingin menggantung perasaan pembaca selama seminggu. Seharusnya bab ini digabung ke bab sebelumnya tapi karena cukup panjang jadi.....

Enjoy

Forth POV.

Dulu, aku mengencani banyak wanita. Kolom gosip tidak hentinya memberitakan tentang wanita yang tidur bersamaku. Tapi ketika mereka tidak sanggup menyaingi rasa cintaku pada pekerjaanku, mereka mulai meninggalkanku. Aku mulai merasa nyaman dengan rasa kesendirianku. Sampai dia datang. Barame Vongviphan. Aku melakukan banyak hal diluar kebiasaanku ketika bersamanya. Mengundang orang lain masuk ke kehidupanku tanpa mengenalnya lebih jauh. Aku bahkan menikmati bagaimana dia dengan caranya yang unik mencoba mengatur hidup dan caraku menjalankan perusahaanku. Dan aku menyukai bagaimana dia mengubah hidupku dan perusahaanku. Aku pikir aku tidak akan pernah memikirkan orang lain sebanyak aku memikirkan pekerjanku tapi aku salah. Selama 3 hari ini, tanpanya, aku sama sekali tidak menikmati pekerjaanku. Aku hanya memikirkan dirinya. Jadi tanpa pikir panjang, aku membuat keputusan ini.

"Aku mungkin tidak gay. Aku tidak pernah menganggap pria lain menarik tapi, Sejak pertama melihatmu, kamu mencuri perhatian dan hatiku. Jadi, maukah kamu pulang bersamaku?" Tanyaku. Beam masih menatapku tak berkedip. Aku bisa melihat campuran perasaan di wajah menawannya. Terkejut, bingung, bahagia, dan sedih.

Setelah terdiam beberapa saat sambil memandangku dengan kedua bola mata hitamnya yang begitu kontras dengan warna kulitnya, Beam berkata "Apa kamu bercanda? Karena jika iya ini sangat tidak lucu" bibir merah menggodanya mengkerut kesal. Aku menjilat bibir bawahku tanpa sadar. Aku masih bisa mengingat bagaimana rasa bibirnya di bibirku.

Aku berdehem. Mencoba mengusir dorongan seksual diantara kami dan mencoba mulai bicara serius. Tapi aku malah mengeluarkan kalimat bodoh seperti "Jika ciuman tidak cukup meyakinkan kita bisa pindah ke kamar dan aku bisa memperlihatkan betapa seriusnya aku"

Aku ingin menampar diriku sendiri tapi melihat reaksinya, aku ingin memberikan penghargaan pada otak kotorku. Kulit Beam yang pucat kini bersemu merah. Aku berusaha keras untuk tidak menempelkan bibirku ke kulitnya yang tidak bersemu merah. Aku ingin warna merah memenuhi seluruh permukaan kulitnya.

Tapi logikaku mencoba mendorong kesadaranku. Aku kemari untuk membawanya pulang bersamaku. Bukan berakhir dengan tidur bersamanya yang akan membuatku semakin terlihat tidak meyakinkan dimatanya.

"Ap-apa kamu sudah gila" ujarnya sambil memalingkan wajahnya dari wajahku.

"Kamu tidak bisa tiba-tiba datang dan mengatakan bahwa kamu ingin aku tinggal bersamamu" protesnya.

Aku berdecak. Sikap jual mahalnya saat ini sangat kontras dari pertemuan pertama kami.

"Satu bulan lalu kamu tanpa pikir panjang bersedia tinggal denganku pada hari pertama kamu mengenalku" Jawabku. Beam kembali menatapku panik. Kali ini bukan hanya pipi dan telinganya yang memerah tapi juga seluruh wajah dan lehernya. Dan itu membuat jantungku berdetak hebat. Tanganku yang berada di pipinya kini turun ke leher mulusnya.

Aku harus menarik nafas dalam hanya untuk menenangkan pikiranku.

"Itu karena keadaannya darurat" elaknya dengan wajah kesal.

Aku mencoba menahan senyumku. Wajah itu membuatku mengingat kenapa aku menyukainya sejak hari pertama kami bertemu. Walau cerita hidupnya terdengar menyedihkan tapi matanya memancarkan kehidupan. Seperti, tidak peduli berapa banyak orang yang menyakitinya, mata itu masih menancarkan kehidupan. Bahkan ketika dia mengucapkan selamat tinggal pada Daniel, mata itu terlihat optimis walau air mata menggenang di permukaannya.

"Jika kamu hanya bersedia pindah dalam keadaan darurat maka aku bisa menciptakannya" ujarku. Dia menatapku bingung.

"Aku bisa meminta pemilik tempat ini agar menyerahkan apartemen ini padaku. Aku bisa membayar berapapun. Atau lebih baik. Aku bisa membeli apartemen ini"

Angel and DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang