mille chances

967 147 50
                                    

a thousand chances

Park Chanyeol sudah tidak bisa
menghitung berapa kali ia telah memberikan kesempatan pada orang lain—dan dirinya sendiri. Entah itu untuk kesempatan memperbaiki diri, kesempatan untuk menjalin hubungan bahkan kesempatan untuk mulai hidup kembali. Pada orang tuanya, Chanyeol telah memberikan kesempatan itu ketika mereka mengirimnya ke New York untuk berkuliah di sana. Tapi mungkin lebih tepatnya saat itu, Chanyeol lah yang memberikan kesempatan pada diri sendiri, bahwa ia bisa hidup tanpa mereka. Nyatanya di New York ia justru terlena dengan kisah cinta penuh kenaifan dengan seorang pemuda bernama Do Kyungsoo. Itu adalah kesempatan yang Chanyeol berikan pada orang lain untuk pertama kalinya. Mungkin karena belum pernah ada yang memperlakukannya dengan sebaik itu, atau belum pernah ada yang mengungkapkan dan menunjukkan perhatian pada Chanyeol seperti itu. Maka Chanyeol percaya bahwa dunianya akan menjadi lebih baik karenanya.

Lagi-lagi pemuda itu mencoba memberikan kesempatan pada dirinya sendiri ketika ia keluar dari rumah. Ia berjanji akan membuat hidupnya menjadi lebih baik. Ia tidak harus menjadi kaya, tidak harus terkenal atau memiliki seseorang di sampingnya. Ia hanya ingin mengurus dirinya sendiri dengan lebih baik. Ia tidak ingin diusik, ia tidak ingin orang lain ikut campur dengan kehidupannya. Tapi pada kenyataannya, Chanyeol hanya bisa berharap. Dan sejak kapan dunia ini mengikuti aturan yang dibuat manusianya?

.

.

.

Chanyeol tidak bisa tidur malam itu. Ia mengunci diri di kamar dan tidak tahu apakah Yifan masih berada di luar atau sudah kembali ke rumahnya. Pemuda itu tidak berani membuka pintu dan memastikannya.

Selain itu, apa yang Yifan katakan hanyalah omong kosong belaka. Bagaimana mungkin laki-laki straight yang bahkan belum resmi bercerai dengan istrinya itu meminta kesempatan padanya? Che. Chanyeol mual mendengarnya.

Selama ini Chanyeol tidak pernah membenci sikap atau kepribadian Yifan. Tentu saja laki-laki itu bisa menyebalkan pada beberapa kesempatan. Namun, yang membuatnya paling kesal padanya adalah bagaimana laki-laki itu dengan mudahnya mengucapkan kata-kata yang ia sendiri tidak maksudkan. Chanyeol sudah lelah dan tidak ingin berurusan dengan orang-orang seperti itu. Mengucapkan janji-janji yang mereka sendiri tidak bisa menepatinya, untuk apa mereka mengatakannya kalau begitu.

Chanyeol mulai menggigiti kuku jarinya yang sudah tumpul. Pemuda itu kemudian mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya sebelum menghela nafas. Apa yang harus ia lakukan untuk menghentikan Yifan?

.

.

.

Chanyeol akhirnya membuka mata setelah sempat terlelap selama satu jam. Waktu menunjukkan pukul 05.30 ketika alarmnya berbunyi. Pemuda itu sempat ragu-ragu untuk keluar dari kamarnya, namun ia akhirnya memberanikan diri dan membuka pintu. Tidak ada siapa-siapa di luar. Yifan sepertinya telah pergi.

Chanyeol mengedarkan pandangannya ke sekitar ruangan dan menemukan sekotak rokok yang Yifan tinggalkan di atas meja. Pemuda itu menghela nafas dan sudah akan membuangnya ketika ia melihat bungkus rokok itu masih ada isinya. Beberapa batang rokok masih tersusun rapi di dalam. Yifan mungkin tidak sengaja meninggalkannya di sana. Abu rokok yang tertinggal di lantai dan meja membuat Chanyeol buru-buru mengambil lap dan mesin penyedot debu.

.

.

.

Wu Yifan datang ke kantor pada pukul 10.00 pagi. Laki-laki itu datang dengan keadaan kacau. Rambut yang tidak disisir, pakaian kusut dan ekspresi wajah yang datar. Untung saja ia adalah pemilik kantor itu jadi tidak ada yang berani mengomentarinya—kecuali satu orang itu tentu saja.

TOUGH PILLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang