pilule dur

1.2K 164 85
                                    

tough pill

Part I

Dua orang laki-laki duduk berhadap-hadapan pagi itu. Salah satunya berusia 35 tahun, satunya lagi 28. Dua cangkir kopi tanpa gula tertata di atas meja sebagai sarapan. Namun kudapan yang sesungguhnya adalah kesunyian dan keraguan disekitar mereka.

Wu Yifan meraih cangkir kopi miliknya dan menyesap cairan hitam itu perlahan. Rasa pahit segera mengisi mulut laki-laki yang bekerja sebagai seorang editor itu. Paling tidak minuman ini bisa menghangatkan tenggorokan, pikirnya.

Yang termuda di antara mereka, Park Chanyeol, lebih memilih untuk menangkup cangkir kopi itu di antara kedua telapak tangannya. Ia memang bukan penggemar minuman berkafein ini, tapi rasanya segan untuk menolak tawaran Yifan yang ingin membuatkannya secangkir waktu itu.

"Kau sudah melihat isi amplopnya." Chanyeol akhirnya membuka suara. Namun kalimatnya terdengar ambigu. Entah itu adalah pertanyaan atau pernyataan.

Yifan mengangguk. Mereka tidak bisa melakukan hal ini selamanya. Ia harus berangkat ke kantor dan bekerja--meskipun hal itu terdengar mustahil sekarang. Yifan masih belum bisa memusatkan pikirannya, selain pada isi amplop cokelat yang dibukanya semalam.

Chanyeol menunggu reaksi Yifan selanjutnya. Ia tidak mengerti dengan anggukan itu. Apakah anggukan itu bermakna 'Ya, aku sudah membukanya dan hal itu tidak menjadi masalah' atau 'Ya, aku sudah membukanya dan hal itu menjijikkan bagiku'.

"Kau mau sarapan apa hari ini? Kita bisa memesan layanan pesan antar atau kau mau sarapan di luar saja?" Tanya Yifan tanpa menatap Chanyeol.

Pemuda itu mengerutkan dahinya. Yifan tampak tidak tertarik untuk membicarakan apa yang diketahuinya mengenai Chanyeol. Apakah ia se-menjijikkan itu? Bagaimana jika setelah ini Yifan tiba-tiba meninggalkannya begitu saja?

Chanyeol menggaruk sisi cangkir kopi menggunakan kukunya yang tumpul. Pikiran-pikiran negatif memenuhi kepalanya.

Sementara Yifan mengusap wajahnya menggunakan telapak tangan ketika menyadari kegelisahan yang pemuda itu rasakan.

"Semuanya terjadi di masa lalu, kan?"

Chanyeol menggigit pipi bagian dalamnya kali ini.  Entah ke mana arah pertanyaan yang Yifan sebutkan sekarang.

"Kenapa kau ingin aku melihatnya?"

Kakinya yang tak beralas di bawah meja sudah ia gerakkan dengan gelisah.

Karena Chanyeol pikir Yifan perlu mengetahuinya? Karena ia merasa bersalah? Karena ia tidak ingin Yifan pergi?

"Aku ingin kau memutuskan--setelah melihat isi amplop itu. Aku tidak seperti yang kau bayangkan." Kata Chanyeol pelan.

Seandainya Yifan tidak menajamkan telinganya, ia mungkin tidak akan mendengar apa yang pemuda itu katakan. Laki-laki itu mendengus.

"Kau tahu apa yang aku bayangkan?"

Chanyeol yang mulai kehilangan kendali, mengarahkan tangan kanannya ke dalam mulut untuk ia gigit kukunya.

"Kau ingin aku pergi?" Yifan memajukan dadanya hingga menekan pinggiran meja yang membatasi tempat duduknya dengan Chanyeol.

Pemuda itu menatap Yifan dengan ragu-ragu. Ia seolah sedang mempertimbangkan jawaban yang tepat untuk diutarakan.

Chanyeol menggeleng.
"Tapi bagaimana jika kau kehilangan semua yang kau miliki kalau kau bersamaku?" Ucapnya lirih.

Yifan yang kini kehilangan kata-kata untuk merespons pertanyaan itu. Ia tidak bisa berbohong dan mengatakan bahwa apa yang selama ini ia bangun dari nol, tidak berarti baginya. Sun-profit bagaikan seorang anak--yang selalu Yifan gagal dapatkan selama ini. Tapi ia juga tidak bisa mengatakan bahwa kehadiran Chanyeol tidak penting baginya.

TOUGH PILLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang