Satu

50 4 2
                                    

Kesempurnaan dan kebahagiaan hidup sejatinya berasal dari bagaimana cara kita mensyukuri apa yang telah kita miliki.

***

Namaku Malika Bilqish Ardiningrum. Cukup panjang dan itu membuatku mengalami sedikit kesulitan saat mengikuti ujian nasional tingkat smp tahun lalu.

Mau tahu arti namaku yang panjang itu? Malika artinya perempuan, Bilqish artinya penguasa atau pemimpin, dan Ardiningrum yang berarti murah hati.

Dengan kata lain namaku mempunyai arti perempuan yang kelak akan menjadi pemimpin yang murah hati. Kalau kalian tidak percaya dengan arti itu, kalian bisa cari di internet atau kalian bisa tanyakan pada ayahku.

Saat ini aku bersekolah di salah satu sekolah menengah atas swasta di Jakarta Selatan. SMA Dwi Tunggal. Sekolah unggulan di Jakarta Selatan tentunya. Aku duduk di kelas 10 IPA 1 meja nomor tiga dari depan yang berhadapan langsung dengan guru.

Seperti kebanyakan anak sekolah, aku punya dua sahabat yang selalu bersama denganku. Namanya Syfa dan Ardan. Tapi aku sedang malas bahas mereka.

Mereka suka ganggu waktu bersantaiku. Seperti saat ini, saat aku sedang enak-enakan tiduran sambil mendengar suara penyanyi kesukaanku, tiba-tiba kamarku diketuk dengan sangat sopan. Disusul suara yang begitu nyaring.

“Lika bangun dong! Gue datang bawa kue kesukaan lo nih.”

Itu suara Syfa. Entah sudah berapa kali dia memanggilku demikian. Tetapi aku abaikan. Aku sedang ingin sendiri saat ini. Karena aku tahu dia punya maksud lain dari panggilan itu.

Tidak lama setelah itu, muncul suara seseorang lagi. Suara yang sudah seminggu ini jarang menyapaku.

“Malika lo nggak lagi nyari wangsit kan?

Sialan! Sekali mendengar suara lelaki itu, malah kata-kata itu yang keluar dari mulutnya. Aku lantas bangkit dan melepas earphone yang bertengger di telingaku.

Begitu aku membuka pintu, sepasang manusia itu tersenyum kepadaku. Melupakan rasa kesalku karena telah diganggu dan dengan sengaja aku mengabaikan Syfa. Aku memeluk seseorang yang berdiri di samping Syfa.

“Ardan kapan pulang dari Semarang?”

Iya, dia adalah Ardan. Sahabat sekaligus sepupuku, anak dari pakdhe ku. Tapi, percayalah dia lebih dari sahabat dan sepupu bagiku. “Semalam Al, kita nggak disuruh masuk nih?”

Aku berdecak singkat dan membiarkan mereka masuk. Kami duduk di karpet dekat televisi. Tempat kesukaan kami saat berada di kamarku.

Kami membentuk formasi segitiga. Aku melihat Syfa yang sejak tadi tersenyum menatapku. Aneh, biasanya dia cemberut kalau sudah kuabaikan. Sedang Ardan, baru sedetik dia duduk, dia sudah pergi mengambil minuman.

“Kenapa roro ayu Syfa?” tanyaku sedikit ketus.

Ia semakin melebarkan senyumnya padaku, lalu bergerak duduk disampingku. Ia menggenggam tanganku sambil mengelusnya. “Raden ayu Malika mau bantuin roro enggak?”

Betulkan perkiraanku, ini anak pasti ada maunya. Aku mencoba menimbang dengan melihat ke langit-langit kamarku sambil mengetuk-ngetukkan jariku di dagu. “Ehm, gimana ya? Tergantung minta bantuin apa dulu sama imbalannya.”

“Jadi gini, hari minggu nanti gue sama kak Zidan genap empat bulan pacaran. Gue mau kasih sesuatu aja gitu sama dia. Gue minta tolong sama lo buat,” jeda sejenak. Syfa membisikkan sesuatu di telingaku. Begitu mendengar apa yang diucapkan, aku membulatkan mataku.

Aku lantas menjauh darinya, “Enggak! Gila aja kamu!”

“Siapa yang gila?”

Itu suara Ardan. Dia datang dengan membawa minuman dingin dan dua kantung plastik. Mungkin itu oleh-oleh dari Semarang. Dia menyodorkan satu untukku dan satu untuk Syfa. “Dari papa nih.”

MalikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang