"Awas Mang!"
Suara decit ban terdengar bersamaan dengan teriakanku. Tubuhku terplanting kedepan. Terima kasih kepada sabuk pengaman. Karena alat itu membuatku terhindar dari dasbor mobil.
Kulihat Mang Mamang yang juga terkejut. Wajahnya pias. "Neng nggak kenapa-kenapa kan?"
Aku menggeleng. Pandanganku beralih ke depan. Di sana seorang gadis tengah berdiri kaku. Tangannya gemetar memegang tumpukan kertas.
"Ayo mang turun."
Aku dan Mang Mamat turun. Gadis itu masih belum sadar dari rasa terkejutnya. Kuraih lengannya, lalu kutuntun dia ke pinggir jalan. Kami duduk di trotoar. Begitu lengannya kusentuh, dia mulai sadar.
Ku ambil air minum dari tasku. Kusodorkan padanya. Dia menenguknya beberapa kali. Dia masih memegang dadanya. Aku menengguk ludah.
"Sudah baikan?" tanyaku pelan.
"Sudah mendingan. Makasih ya." ucapnya seraya mengembalikan airnya padaku.
"Iya. Maaf ya, gara-gara aku kamu hampir tertabrak."
Meski yang menyetir bukan aku, tapi aku harus minta maaf kan. Karena biar bagaimanapun aku juga di dalam mobil.
"Ehm enggak kok. Harusnya gue yang minta maaf. Soalnya gue tadi ngejar bus yang ada disana. Itu bus terakhir gue. Jadi gue langsung main nyeberang aja. Untung aja sopir lo cepat ngeremnya. Kalau enggak, nggak tahu lagi gimana nasib gue."
Aku melongo. Orang ini hebat sekali. Bisa bicara sebanyak itu dalam sekali tarikan nafas. Syfa yang cerewet saja kalah sama dia.
"Eh iya, lupain aja."
"Lain kali gue bakal hati-hati deh. Janji," ucapnya sambil mengangkat kedua jarinya.
"Kamu udah beneran baikan kan?" tanyaku memastikan.
"Iya beneran. Tapi, gue nggak tahu mau pulang gimana caranya. Soalnya busnya udah habis."
"Gimana kalau aku antarin?"
"Nggak masalah memang?"
"Enggak kok."
"Ya udah, yuk."
Kami pun bergegas masuk. Setelah mengatakan alamat gadis itu, kami mulai meluncur.
"Kenalin, Alana." gadis itu mengulurkan telapak tangannya.
"Malika," jawabku sambil membalas uluran tangannya.
"Sekolah di Dwi Tunggal ya? Kelas berapa?"
"Iya, kelas 10. Kalau kamu?"
"Aku di Trianta. Sama kelas 10 juga. Abang gue juga sekolah di Dwi Tunggal. Sekarang kelas 11, beda setahun."
"Namanya?"
"Namanya...."
"Depan belok mana Neng?"
Belum sempat menjawab, Mang Mamat mengajukan pertanyaan lain.
"Belok kiri Mang. Yang cat biru itu Mang."
Tak sampai satu menit, kami tiba dirumah bercat biru dengan pagar besi di depannya. Rumah Alana hanya satu lantai, namun terlihat asri dan hidup.
"Gue turun dulu ya Malika. Makasih tumpangannya. Mau mampir dulu nggak?"
"Enggak usah deh Alana. Aku pamit dulu ya."
Mobilpun kembali melaju, meninggalkan kediaman Alana.
***
Terang telah menjelma menjadi gelap. Namun hawa dingin dari sisa hujan tadi tak mau pergi. Membuat orang lebih memilih tinggal di rumah ditemani teh hangat dari pada pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Malika
Teen FictionMalika tak dapat memungkiri pesona yang dimiliki oleh Abqari Agam Alger. Seorang anak basket yang beberapa kali mewakili sekolahnya di olimpiade matematika. Namun meskipun ia memiliki perasaan lebih kepada kakak kelasnya itu, ia tidak berani mengung...