Irismu bagai daun pintu yang mampu mendorongku pergi dari duniaku
***
Bel pulang sekolah mengudara beberapa menit yang lalu. Aroma kebebasan begitu terasa di sini. Aku segera merapikan alat-alat tulisku. Pandanganku terpaku pada sebuah kertas A4.
Kupandangi lembaran itu, hasil ulangan matematika yang diberikan ketua kelas. Aku menatap masam nilai yang tertera di sana. Lima koma lima, dengan kolom tandatangan orangtua di sampingnya.
Syfa yang duduk disampingku menatapku, “Sudah, nggak usah dilihat terus kertasnya. Nilainya nggak bakal berubah juga, Al.”
Aku menghela napas lalu tersenyum datar. “Sudah biasa dapat nilai segini kok. Tenang saja, ayah akan mengerti.”
Aku menatap Syfa sejenak, di balik kacamata yang dipakainya, ku tangkap tatapan prihatin dan peduli kepadaku. Aku kembali mengemas peralatanku, tak mau mengambil pusing tatapan Syfa. Seseorang duduk di depanku. Aku tahu itu Ardan. Dengan senyum merekahnya, ia berkata kepadaku. “Makannya jangan galau melulu di rumah. Belajar yang benar.”
Aku mendengus sebal lalu bangkit. Kami mulai berjalan meninggalkan kelas. “Aku juga belajar, Ardan. Memang soalnya saja yang sulit.”
Aku merutuki ucapanku barusan. Pasti sebentar lagi dia akan pamer. “Soalnya nggak sulit kali. Gue aja dapat nilai bagus.”
Tuh kan benar.
Aku mendelik, sebal. Tentu saja dibandingkan dia dan Syfa, aku jadi yang paling lemah soal pelajaran eksata. Dia saja anak olimpiade matematika, sedang Syfa anak olimpiade bahasa. Sedangkan aku, jangankan masuk olimpiade, dapat nilai KKM saja sudah cukup bagiku.
PLAK
Sebuah jitakan sukses mendarat di kepala Ardan. Ardan meringis sedamgkan yang menjitak tersenyum bangga. “Jangan sombong jadi orang lo.”
“Siapa pula yang sombong. Kenyataan kalau Ardan Pamungkas memang jago matematika, jago main basket, anak semata wayang keluarga pamungkas, tampang oke punya…”
“Tapi deketin Zia enggak bisa!” Aku dan Syfa kompak berucap. Ardan langsung bungkam. Wajahnya memerah begitu mendengar ucapan kami. Persis seperti orang yang habis digombali. Aku dan Syfa tertawa dibuatnya.
“Berani ngajak dia kenalan nggak?”
Namun Ardan memilih untuk tak menanggapinya. Kami kembali bercengkrama sepanjang koridor dan tiba di parkiran beberapa menit setelahnya. Biasanya aku diantar jemput oleh supirku, dan Ardan naik sepeda motor kesayangannya.
Tapi karena hari ini spesial, kami berangkat dan pulang sekolah naik mobil Syfa. Jangan heran, ini sebagai bentuk rasa syukur Syfa karena hadiah yang ia berikan kepada kak Zidan sukses besar.
Ardan mengambil tempat di balik kemudi, tentu saja karena dia laki-laki sendiri di sini. Syfa duduk di sampingnya, dan aku memilih untuk duduk di belakang. Tanpa banyak basa-basi kami menuju kafe impian.
Tiga puluh menit untuk kami tiba tempat ini. Tempat yang sudah tujuh bulan ini menjadi tempat kami menghabiskan waktu bersama. Entah itu untuk sekedar nongkrong, mengerjakan tugas, ataupun melepas lelah setelah seharian belajar di sekolah.
Kami punya alasan tersendiri menyukai tempat ini. Aku yakin tempat ini akan menjadi tempat legendaris kami suatu saat nanti.
Kami memilih tempat di bagian samping dekat dengan dinding kaca. Tempat kesukaan kami. Lima detik setelah kami duduk, seorang gadis dengan baju berwarna merah datang membawa buku menu. Dia tersenyum ramah hingga tampak lesung pipinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Malika
Подростковая литератураMalika tak dapat memungkiri pesona yang dimiliki oleh Abqari Agam Alger. Seorang anak basket yang beberapa kali mewakili sekolahnya di olimpiade matematika. Namun meskipun ia memiliki perasaan lebih kepada kakak kelasnya itu, ia tidak berani mengung...