Bukan potongan puzzle, tapi sederet teka-teki silang yang menanti untuk dipecahkan
***
Mentari kembali menyapa bumi. Sinarnya mulai menelurkan kehangangatan, menggantikan dingin yang melingkup di kesunyian malam.
Lewat jendela, cahaya pagi memasuki kamarku. Mataku mengerjap, terbangun dari alam mimpi. Aku melepas earphone yang masih bertengger manis di telingaku.
Aku beranjak mandi dan bersiap ke sekolah. Dua puluh menit berselang, aku sudah siap. Aku mengambil tas ku dan memastikan kembali penampilanku.
Kurapikan sedikit hijab yang kupakai. Ku sematkan bros kecil untuk menghalau angin yang bisa membuat hijabku terbuka.
Aku kembali memeriksa buku pelajaran di tasku. Lengkap.
Kuambil ponsel dan kukenakan earphone. Aku keluar kamar, menyusuri rumah menuju meja makan.
Kosong, tak ada siapapun di meja makan. Hanya ada sepiring nasi goreng telur yang masih hangat dan segelas susu.
Aku menghela napas. Dengan malas aku menikmati sarapanku. Selesai sarapan, aku lantas keluar. Mencari Mang Mamat, orang yang akan mengantarkanku ke sekolah.
"Yuk mang, nanti ada ulangan matematika. Lika mau belajar dulu."
"Iya neng." Mang Mamat hanya menjawab singkat.
Aku masuk ke mobil, kemudian mengambil buku paket matematika. Materi tentang persamaan garis. Dengan malas aku membaca, berusaha memahami.
Baru lima menit membaca, kepalaku sudah pusing. Aku menutup wajahku dengan buku paket. Ah.. Sebenarnya untuk apa pelajaran seperti ini. Toh nanti saat kerja juga tidak akan di tanya pertanyaan seperti ini.
"Nggak usah dipaksain neng. Nanti malah sakit," ujar Mang Mamat.
"Nanti Lika remidial gimana? Di ejek lagi sama Ardan. Mang tahu sendiri kan gimana Ardan."
"Disenyumin aja Ardannya neng."
Aku hanya mendengus mendengar penuturan Mang Mamat. Dia tak tahu saja bagaimana Ardan kalau sifat reseknya kambuh.
Pernah suatu ketika, saat aku dan ayah berkunjung ke rumahnya, dia dengan blak-blakan bilang ke ayahku bahwa aku suka lepas hijab kalau main.
Padahal aku melepas hijabku kala itu, karena dia menumpahkan es krim cokelat ke hijabku. Resekkan.
Atau pernah dia bilang ke ayah kalau aku suka tidur di kelaslah, nggak ngerjain PRlah, pokoknya dia sudah seperti perempuan. Cerewet.
Dih jadi mikirin Ardan.
"Sudah sampai neng."
Aku menoleh, kaget. Gara-gara si Ardan aku jadi tidak sadar sudah sampai. Aku bergegas turun. Ketika ku buka pintu mobil, Mang Mamat kembali memanggilku.
"Neng ini, tadi saya temuin di depan pagar."
Kulirik sekilas benda yang di berikan Mang Mamat. Sebuah amplop berwarna jingga. Kuterima amplop itu, tak lupa aku mengucapkan terima kasih kepada Mang Mamat.
Sambil berjalan menuju loker aku membuka amplop itu. Ku baca deretan huruf rapi yang tertera di sana.
Assalammualaikum wr.wb
"Waalaikumsalam," jawabku.
Selamat pagi Raden Ayu Malika, hari ini aku datang dengan amplop berwarna jingga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Malika
Teen FictionMalika tak dapat memungkiri pesona yang dimiliki oleh Abqari Agam Alger. Seorang anak basket yang beberapa kali mewakili sekolahnya di olimpiade matematika. Namun meskipun ia memiliki perasaan lebih kepada kakak kelasnya itu, ia tidak berani mengung...