Gemericik air terdengar dari air hujan yang jatuh dari atap sebuah rumah. Rumah sederhana, satu lantai dengan empat orang penghuninya.
Mereka kini tengah asyik menikmati makan malam. Tak menghiraukan udara dingin yang menyusup di balik kulit.
Sepiring nasi ditambah sayur asam. Lalu lauk tempe goreng dan sambal tomat. Tak lupa beberapa apel dan jeruk. Menu yang sederhana namun cukup untuk memenuhi gizi.
Mereka makan dalam diam. Sampai semua selesai menyantap makanan masing-masing. Mereka tidak langsung beranjak meninggalkan meja makan sebelum pergi.
Karena mereka selalu ingat pesan dari ibu, tidak baik langsung jalan ketika selesai makan. Duduklah sejenak, biarkan makanan yang baru dimakan melewati lambung. Kalau dipaksa buat jalan, perut bisa sakit. Begitu kurang lebih.
"Alana tadi siapa yang datang?" suara ibu yang keluar pertama kali.
"Teman Alana kok bu," timpalnya.
"Tapi kayaknya ibu nggak pernah lihat. Teman baru?"
"Iya bu. Baru aja kenal. Tadi dia juga kok yang anterin aku pulang, soalnya tadi nggak dapat bus," jelasnya.
"Jangan sembarang berteman adek kecil," ucap seorang lelaki di sampingnya sambil mencubit hidung Alana.
"Aduh! Bang Agam apaan sih! Jayus amat, ntar hidung Lana merah gimana?" protesnya sambil menunjuk hidungnya.
"Nggak masalah kali dek. Orang nanti hidungnya yang pesek ini, jadi mancung," Agam kembali mencubit hidung Alana.
"Hih, kok dicubit lagi sih. Sakit tau! Lagian nih ya, dia bukan cuma sekedar teman kali," Alana kembali berceloteh.
"Maksudnya dia merangkap jadi taksi kamu, dek? Kalau gitu sih, untung banget Abang."
"Yee untung apaan? Nggak ada tuh sejarahnya Abang antarin Lana sekolah."
Agam menjitak kepala Alana, "Gimana Abang mau ngantarin sih, dek. Orang adek saja sekolah beda arah sama Abang."
"Abang ih, suka banget bikin sengsara Lana. Ayah, lihat nih Abang, masak adek dijitak," ujar Alana.
"Agam jangan begitu sama adek kecilmu." ucap ayah sambil tersenyum simpul.
"Ayah, Lana udah gede tau. Nggak pantes dipanggil adek kecil lagi," Alana kembali melayangkan protes.
Agam tertawa sedangkan ibu hanya geleng-geleng saja. Memang begitulah mereka ketika dimeja makan. Hal sepele menjadi menarik untuk diperbincangkan.
"Tetap saja kamu adek kecilnya ayah, ibu, sama abang kamu." ayah berkata sembari mengelus kepala Alana.
"Dan kamu yang paling banyak dapat kasih sayang disini." tambah ibu.
Alana terdiam. Memang jika ditelaah lebih dalam, yang dikatakan ibu benar. Meskipun sama-sama duduk di bangku SMA, uang jajannya lebih banyak daripada Agam. Dia dulu tidak perlu susah payah mencari beasiswa untuk bisa sekolah. Seperti yang terjadi pada Agam dahulu.
Karena kondisi ekonomi keluarga, Agam harus mati-matian mendapatkan beasiswa untuk meringankan biaya sekolahnya. Hal itu dia dapatkan dari olimpiade matematika.
"Tapu nanti kalau teman-teman Lana tau, bisa diejek," Alana cemberut.
"Kalau ada yang ngejek kamu, bilang sama abang." suara Agam terdengar lebih datar.
"Ck! Abang mau pukulin mereka gitu? Yang ada mereka bakal nempelin Lana mulu bang, pas tau Lana punya abang modelan begini."
"Berarti teman-teman kamu masih sehat matanya."
"Sudah, kalian berantem saja. Ayah mau ke kamar dulu. Alana, jangan lupa bantu ibu cuci piring. Agam, jangan lupa belajar. Jangan sampai nilaimu menurun."
"Siap ayah!" ucap mereka serempak.
Alana dengan cekatan membantu ibunya. Sambil sesekali bersenandung kecil. Ia teringat dengan Malika. Ia tidak sabar ingin menghubunginya nanti.
"Sekolah kamu gimana, dek?"
Pertanyaan ibu membuat Alana menghentikan nyanyianya. Ia tampak ragu ingin menjawab.
"Baik kok bu."
Ibu tersenyum sekilas, lalu meraih serbet untuk mengelap meja makan. Alana menelan ludah. Ia mempercepat pekerjaannya. Ia ingin segera ke kamarnya. Begitu selesai ia segera pamit kepada ibu.
"Bu, Lana ke kamar dulu ya."
"Iya, jangan lupa belajar ya dek."
"Siap ibuku sayang."
Alana mengecup pipi sang ibu. Lalu dengan langkah riang menuju kamarnya. Ketika sampai dipintu kamarnya, ia melirik ke pintu samping kamarnya yang sedikit terbuka.
Pintu kamar Agam.
Alana mencari keberadaan abangnya itu. Dia sedang tengkurap diatas kasurnya, dengan menatap ponsel dengan posisi lanscape.
Alana bergumam,"Belajar apanya. Orang malah main game. Heran gue, kalau gue perhatiin abang jarang belajar tapi kok juara olimp ya."
Agam menghentikan permainannya saat mendengar suara lirih seseorang. Cepat-cepat Alana masuk dan menutup kamarnya.
Teringat perlakuan abang tadi saat di meja makan. Ia memikirkan cara untuk membalasnya. Ia berjalan bolak-balik, dengan tangan kanan yang ia letakkan di pinggangnya. Dan tangan kirinya memilin ujung rambutnya. Sepuluh menit berlalu, tetapi dia belum juga mendapatkan ide.
"Mungkin nggak harus malam ini," gumamnya lantas ia merebahkan tubuhnya di kasur. Ia meraih ponselnya. Mencari kontak Malika, lalu mengirimnya pesan lewat whattsapp.
Alana
Malam bu guru. Mengganggu?Tak sampai setengah menit pesan balasan masuk.
Malika
Enggak kok. Aku bukan guru kali Lana.Alana
Pokoknya lo guru gue. Dan sebagai guru yang baik, lo harus nyanyi sekarang lagu yang tadi lo nyanyiin di rumah gue. Gue maksa. 😊Alana nekat meminta Malika menyanyi lagi, karena dia belum sempat merekam tadi. Dia berharap Malika bukan tipe orang yang susah.
Cukup lama ia menunggu, hingga dentingan diponselnya berbunyi. Alana senang bukan main. Karena itu adalah pesan suara yang diminta Alana.
Alana
Aciiihhh bu guru. Gue nikmatin dulu lagunya.
Setelah mengirim pesan tersebut Alana memutar pesan suara itu. Pesan yang berisi Malika yang tengah menyanyikan lagu aku suka dia dari Ainan Tasneem. Alana memutar dengan volume maksimal.
Sementara itu, didalam kamarnya Agam menjadi terganggu fokusnya. Ia berdecak kesal, ingin memarahi sang adik. Ia beranjak dari kamar. Ia ingin menerobos masuk, tetapi ia mendengar apa yang diputar sang adik dia terdiam.
Untuk sesaat ia ikut mendengarkan dan terlena dengan suara sang penyanyi tersebut.
"Bagus juga suaranya. Suara siapa juga itu. Ada-ada saja si adek."
Agam memutar badannya. Kembali masuk ke kamarnya. Dari kamar ia juga ikut menikmati lantunan lagu tersebut.
***
29 Maret 2019
Poetrysanty
KAMU SEDANG MEMBACA
Malika
Teen FictionMalika tak dapat memungkiri pesona yang dimiliki oleh Abqari Agam Alger. Seorang anak basket yang beberapa kali mewakili sekolahnya di olimpiade matematika. Namun meskipun ia memiliki perasaan lebih kepada kakak kelasnya itu, ia tidak berani mengung...