Seorang gadis dengan tahi lalat di atas bibirnya, kini tengah duduk di sebuah kafe. Kafe impian. Begitu orang-orang menyebutnya. Gadis itu sedang memilih menu makanan yang baru saja disodorkan Zia kepadanya. Tangan kanannya sibuk membolak-balik halaman, sedang tangannya yang lain tengah memegang ponsel.
"Jadi mau pesan apa nih?" tanya gadis manis itu kepada orang di seberang ponselnya.
"Yang asam tapi nggak asin," jawab orang itu sekenanya.
"Yang asam tapi nggak asin, rujak dong. Lo abis ngapain pesen rujak? Kayak orang ngidam tahu nggak. Atau jangan-jangan?"
"Eh, itu mulut kalau ngomong nggak pake permisi. Emang ada tampang begituan gue?"
"Haha, ada deh kayaknya."
Gadis itu menatap Zia sesaat, "Mbak pesan chicken steak dua, nasi dua, jus jambu dua, es teh satu, sama es jeruk satu."
Zia mencatat pesanan gadis itu, mengulangi menu yang di pesan, lalu pergi meninggalkan gadia yang sudah lima belas menit berlalu tapi belum mau menentukan menu, malah asyik berdebat dengan seseorang di seberang ponselnya.
"Mbaknya bete deh kayaknya," ucap gadis itu.
"Lo kan emang ngeselin, jadi wajar kalau mbaknya bete."
"Biarin, yang penting lo sayang gue."
Secara sepihak gadis itu memutuskan sambungan teleponya. Ia ingin menaruh ponselnya, namun gerakannya terhenti. Nomor yang beberapa saat lalu dihubunginya, kini balik menelponnya.
Tanpa ragu, gadis itu menolak panggilan itu. Ia tersenyum miring. "Rasain!"
Hingga panggilan itu terjadi berulang-ulang, gadis itu tetap melakukan hal yang sama. Sebuah tangan menghentikan gerakannya. Gadis itu tersentak, lantas meringis.
"Akhirnya lo datang juga," gadis itu tersenyum lega.
"Alana Aryani, nggak tahu diri banget!"
Gadis yang dipanggil Alana itu kini wajahnya berubah masam. "Maksud lo?"
"Banyak diluaran sana yang pengen gue telfon, tapi lo malah seenak jidat matiin telfon gue."
Alana mendelik,"Soalnya lo agak waras sih. Ya kali, lo udah di depan kafe masih aja nelfon."
Orang itu tersenyum, lalu duduk di depan Alana. "Sok tahu banget!"
"Gue emang tahu. Karena gue punya ini," Alana menunjuk kedua matanya.
"Oh, itu yang gunanya buat di giniin enggak?" lelaki itu mengambil garpu lalu mengarahkan pada kedua mata Alana.
"Abqari Agam Alger, lo macam-macam gue laporin bokap gue!"
"Laporkan saja, nanti gue juga bakal bilang ke bokap lo kalau anaknya ini suka bolos."
Alana bungkam, ia mengaku kalah berdebat hari ini. Karena Agam nyatanya memang telah tahu kebiasaan buruk Alana.
Kala itu, Agam yang sekolahnya sedang libur sedang berada di sebuah pusat perbelanjaan bersama teman-temannya. Tanpa sengaja ia melihat Alana yang sedang sibuk makan dengan teman-temannya.
Agam menghampiri Alana, dan meminta Alana menjelaskan semuanya. Dari situ, Agam tahu kebiasaan buruk Alana.
"Kenapa diam?" ucap Agam dengan wajah datar.
"Tapi sekarang Lana udah nggak kayak gitu kali."
Agam hanya mengangkat sebelah alisnya. Keduanya memilih diam. Sampai makanan yang mereka pesan datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Malika
أدب المراهقينMalika tak dapat memungkiri pesona yang dimiliki oleh Abqari Agam Alger. Seorang anak basket yang beberapa kali mewakili sekolahnya di olimpiade matematika. Namun meskipun ia memiliki perasaan lebih kepada kakak kelasnya itu, ia tidak berani mengung...