Sepuluh

11 0 0
                                    

Aku mencintaimu seperti halnya anak gempal yang mencintai kue.

Scott Adams

***

Setelah kejadian tempo hari, Ardan mendiamkan Syfa. Meskipun dia tetap menjalankan hukumannya. Tapi tetap saja, aneh rasanya, ketika kedua sahabat ku tak bertegur sapa.

Dan aku tak mempedulikannya. Mereka terlalu kekanakan, itu menurutku. Beruntunglah hari ini jam kosong, sehingga aku bisa terbebas dari perang dingin mereka. Dengan langkah riang, aku duduk di depan kelas.

Memperhatikan dengan seksama anak kelas lain yang sedang olahraga. Kalau tidak salah itu kelas.... Kak Agam. Tanpa sadar, aku menarik kedua sudut bibirku.

Aku mengambil ponsel di saku rok abu-abuku, lantas mengambil gambar Kak Agam. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Aku akan memilahnya nanti di rumah.

"Al, lo ngambil gambar siapa?"

Suara Syfa membuat ku terjingkat. Kaget dan salah tingkah. Aku memalingkan wajahku ke samping, mencari alasan.

"Ehm.. Itu.."

Duh, aku mau jawab apa kalau begini. Kulirik Syfa, masih menunggu jawabanku. Aku berfikir sejenak. Mungkin sudah saatnya Syfa tahu tentang perasaanku. Aku mengambil nafas, lalu lirih berkata,"Itu..."

Ternyata sulit untuk mengungkapnya pada Syfa. Tidak sabar karena aku berbelit-belit, Syfa merebut paksa ponselku.

"Al, ini... Kak Agam?" Syfa melebarkan bola matanya. Tak percaya.

Lemah aku mengangguk. Setelah ini aku harua bersiap menerima apapun. Syfa tersenyum lalu tertawa.

"Lo suka sama Kak Agam?" Syfa berseru.

Ku arahkan telapak tanganku di mulutnya. Ia sempat meronta, namun aku lebih kuat darinya. "Jangan keras-keras dong. Nanti kedengeran sama orangnya."

"Janji jangan heboh kalau aku lepas."

Syfa mengangguk. Setelah itu aku melepasnya. Syfa menarik nafas dalam, mencoba menghirup udara sebanyak-banyaknya. Setelah nafasnya normal, ia berkata padaku,"Jadi sejak kapan?"

"Nggak tahu," wajahku memanas.

"Gue seneng dengarnya, sumpah. Lo harus deketin dia. Pokoknya lo harus bisa taklukin hatinya. Nanti gue minta Zidan buat comblangin kalian deh." Syfa tampak antusias.

"Dia nggak bakal mau kali, Syf."

Suara seorang cowok membuat kami menoleh. Syfa menghembuskan nafasnya. Jengah.

"Sok tahu lo, Dan." sungut Syfa.

"Nggak percaya sama gue? Tanya aja langsung sama Malika." jawabnya datar.

Syfa menatapku meminta jawaban. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Kulihat Syfa menepuk jidatnya.

"Aku nggak mau pacaran, Syf. Kamu tahu kan?"

"Terus lo bakal jadi pengagum rahasia doang gitu? Biarin Kak Agam sama cewek lain, dan lo nangis-nangis nggak jelas sama gue?"

"Enggak, aku bakal nangis sama kamu kali."

"Kalau nggak nangis sama Syfa, lo bakal nangis sama gue?"

"Ih, enggak juga Ardan. Pokoknya aku nggak kenapa-kenapa kalau Kak Agam punya pacar. Aku bisa lihat dia selama ini juga udah senang kok."

Katakanlah aku naif. Tapi memang itulah aku. Aku tidak ingin terlalu mengutamakan perasaan. Sekolahku lebih penting.

"Terserah lo deh. Ntar orangnya disambar orang tau rasa deh lo, Al. Balik kelas yuk, Dan."

Ardan mengangguk lantas meninggalkanku. Aku tersenyum simpul. Sebelum mereka jauh aku berseru,"Seenggaknya kalian udah baikan gara-gara hal ini."

Mereka hanya cekikikan. Ardan merangkul bahu Syfa, kembali melangkah. Dan aku tetap setia melihat Kak Agam.

***

Mendung begitu kelabu siang ini. Sambil mengayunkan kakiku di kursi halte, aku sedikit bersenandung.

Sebuah motor berhenti tepat di depanku. Ardan. Ia turun menghampiriku. "Kok tumben belum dijemput?"

"Iya nih, nggak tahu Mang Mamat nggak biasanya begini."

Sebenarnya aku khawatir Mang Mamat belum datang, karena langit mendung. Takut hujan tiba sebelum beliau datang.

"Ck! Maaf ya, Al. Gue nggak bisa nemenin deh kayaknya. Mau ke kafe."

Aku memicingkan mata. Sejak kapan Ardan ke kafe nggak ngajak aku atau Syfa. Seperti sadar akan ucapannya, Ardan tersenyum sambil menaik turunkan alisnya.

"Kamu beneran PDKT sama Zia?"

"Menurut lo?"

"Bagus deh. Aku senang dengernya. Sukses ya."

Ardan mengangguk, lantas berdiri. "Duluan ya, Al. Kalau Mang Mamat nggak datang juga, lo bisa hubungi gue. Nanti gue anterin."

Aku mengacungkan jempolku. Melihat kepergian Ardan dengan senyum sumringah. Andai aku bisa seperti Ardan.

Selang beberapa menit Mang Mamat tiba. Aku langsung masuk ke kursi penumpang.

"Tumben banget telat, Mang."

"Maaf neng, tadi macet."

Aku tak mengindahkan jawabannya. Aku memasang sabuk pengamanku. Pandanganku tertuju pada langit yang semakin menggelap.

Perlahan gerimis mulai datang. Berganti hujan yang cukup deras. Bau air hujan langsung menerpa hidungku. Kupejamkan mataku, merasakan sesuatu yang perlahan hinggap dihati. Ketenangan.

Andai aku bisa seperti hujan
Yang tetap jatuh meski kadang tak diharapkan
Yang selalu tiba walau kadang tak dibutuhkan
Yang selalu bisa menerima meski akhirnya ditinggalkan

Aku membuka mataku. Tersenyum simpul mengingat apa yang ada dibenakku tadi.

Kulirik Mang Mamat yang tengah mengemudi. Tak memperhatikanku. Untunglah kalau dia memperhatikanku bisa dikira gila aku.

Aku mengernyit ketika tiba di persimpangan jalan. Hujan sudah tak sederas tadi. Menyisakan gerimis kecil dan jalan yang licin.

"Kok disini nggak deras ya hujannya?"

"Tiap kawasan kan beda, Neng."

Aku hanya mangut-mangut. Tak berniat menyahut lagi ucapan Mang Mamat. Kusandarkan punggungku di kursi, hingga tiba-tiba....

"Mang awas!"

***

20 Maret 2019
Poetrysanty

MalikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang