Tigabelas

15 0 0
                                    

Pagi kembali menjelang. Memaksa manusia untuk membuka mata guna menjalani harinya. Hawa dingin masih lekat terasa yang berasal dari guyuran hujan semalam.

Pukul enam pagi. Alana keluar dari kamar dengan seragam lengkap. Rambutnya terurai, untuk menghalau dinginnya pagi.

Sambil bersenandung ia menuju meja makan. Sarapan pagi. Kegiatan rutin yang tidak boleh dilewatkan oleh keluarganya.

Biar otaknya gampang nerima pelajaran dek sarapan itu, nasehat abangnya yang tak terbantahkan.

Ayahnya sudah duduk manis di sana sambil membaca koran hari ini. Sementara ibu, masih sibuk menyiapkan sarapan mereka.

Selain ayah dan ibunya, abangnya, Agam juga sudah duduk. Dengan sedikit kesal ia menarik kursi lantas mendudukinya.

"Maaf adek kecil, lo kalah cepat hari ini. Makanya jangan dengerin musik sampai malam," ucap Agam.

"Adek kalah kali sama abang. Nggak usah besar kepala deh. Lagian kenapa kalau adek dengerin musik? Abang keganggu? Atau abang juga suka kan sebenarnya?" tuduh Alana.

"Iya gue suka," namun kalimat itu tertahan.

"Oh iya adek mau bilang sama abang, penting."

"Apaan?"

"Adek sudah ada guru nyanyi dong. Jadi abang nggak perlu nyariin lagi buat adek."

Agam teringat permintaan Alana beberapa waktu lalu di mall. Tentang dia yang ingin belajar bernyanyi, dan minta di carikan gurunya.

"Siapa? Kenal abang nggak dia? Jangan-jangan dia sebenarnya fans abang lagi. Jadi dia mau jadi guru kamu. Modus."

"Dih, fans abang. Sebegitu kerennya apa abang sampai punya fans."

Alana tidak tahu saja kalau Agam, Zidan, dan Akmal adalah paket lengkap untuk dijadikan idola di Dwi Tunggal. Jangan ditanya lagi bagaimana populernya mereka.

Populer dalam arti bukan karena sifat nakal, tapi karena prestasi mereka masing-masing. Zidan sang kapten basket, Agam sang peraih emas olimpiade, dan Akmal sang pemilik suara emas. Hanya dengan melihat mereka jalan bersama sudah menimbulkan histeria.

Tadinya Agam hendak meminta Akmal untuk menjadi guru Alana. Namun mendengar penuturan adik kecilnya, Agam mengurungkan niatnya.

"Jadi siapa dia? Sekolah dimana juga? Abang harus tahu nih. Abang nggak mau sembarang orang yang ngajar kamu."

"Pokoknya dia orang cantik, pakai hijab, sekolah di Dwi Tunggal juga, dan suaranya yang kakak dengerin semalam sambil senderan di pintu kamar adek. Kakak terlena kan."

Agam tergugu, bagaimana dia tau kalau dirinya semalam terlena dengan lantunan lagu itu. Agam menghembuskan nafasnya.

"Terserah lo deh, dek."

Agam lantas beranjak untuk berangkat sekolah.

***

Bel istirahat baru saja berbunyi. Para siswa berhamburan keluar kelas. Tak mau kehilangan waktu, untuk segera melepas lapar dan dahaga.

Begitu juga yang dilakukan Syfa. Ia memberi isyarat kepada Ardan untuk mengikutinya. Sejenak melupakan Malika.

Bukan kantin yang di tuju Syfa, melainkan taman belakang sekolah yang jarang di datangi siswa. Ardan tiba beberapa menit setelahnya.

Tanpa basa-basi Ardan langsung bertanya,"Ada yang mau lo bicarain?"

"Iya. Tentang Malika."

"Malika kenapa?"

Untuk sesaat Syfa diam. Memikirkan kata-kata yang tepat untuk mengutarakan maksudnya.

"Lo tahu kan gimana kesepiannya Malika di rumah?"

"Iya, terus?"

"Lo juga tahu kan kalau cuma kita yang dia punya, selain bokapnya yang gila kerja itu. Jadi dia selalu murung kalau di rumah. Dan gue nggak suka orang tua model begitu."

Ardan diam, enggan menjawab. Dia masih belum tahu arah pembicaraan Syfa. Ia masih ingin mendengar kelanjutannya.

"Lo juga tahu kalau Malika suka sama Kak Agam."

Mulai mengerti arah pembicaraan Syfa, Ardan berdehem sejenak untuk menanggapi.

"Syfa, pertama gue tahu Malika kesepian kalau di rumah, tapi lo nggak boleh negatif thinking sama bokapnya Malika. Kedua, soal Kak Agam, kalau lo mau usaha buat deketin mereka, gue nggak mau ikut-ikutan. Gue tahu kalau Malika nggak bakal suka kita kayak begini."

"Lo nggak mau lihat masa SMA sahabat kita lebih ada warnanya, Dan?"

"Masa SMAnya sudah cukup berwarna dengan adanya kita."

"Tapi kan beda Ardan."

"Apa yang membedakan?"

"Seenggaknya dia bakal ngrasain apa yang kebanyakan remaja rasakan saat SMA. Dia bisa ngrasain gimana rasanya punya hubungan spesial dengan seseorang."

"Alasan lo kurang kuat."

Syfa menghembuskan nafas. Ia tahu ini akan sulit. Ia diam cukup lama. Pandangannya menyusuri taman yang tak terurus itu.

"Kalau lo udah selesai gue pergi."

Ardan beranjak dari tempatnya. Meninggalkan Syfa yang masih berfikir untuk meluluhkan hati Ardan. Namun sayang, ide itu tak kunjung datang. Sampai Ardan berjalan cukup jauh, Syfa berkata dengan agak kencang.

"Biar dia tahu gimana rasanya dicintai oleh lawan jenis, Dan. Siapa tahu dia bakal ceria dan semangat belajarnya, jadi dia nggak perlu bolak-balik remidial."

Langkah Ardan terhenti. Hatinya mulai goyah. Membenarkan apa yang diucapkan Syfa.

Jadilah ia memutar tubuhnya. Lalu berkata,"Nanti kita omongin lewat ini," katanya sambil menunjuk ponselnya.

Syfa bersorak kegirangan. Merasa menang, langkahnya terasa ringan.

***

31 Mei 2019
Poetrysanty

MalikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang