Empat belas

17 1 0
                                    

Cinta harus diperjuangkan. Lebih baik gagal tapi bernah berjuang, daripada tidak mencobanya.

Begitulah prinsip yang di anut Syfa. Karena prinsip itulah ia mengajak Ardan melakukan misi untuk mendekatkan Malika dan Agam.

Meski untuk mendapatkan persetujuan Ardan perlu sedikit perdebatan. Namun akhirnya ia berhasil. Kini dia sudah siap melakukan aksinya bersama Ardan di depan Malika.

***

Bel tanda pulang sekolah bergema nyaring di SMA Dwi Tunggal. Sudah menjadi hal yang wajar, jika mereka kini berlomba untuk segera pulang.

Namun tak sedikit pula yang masih di sekolah untuk sekedar bercengkrama atau mengikuti kegiatan sekolah. Kupandangi mereka yang sedang asyik berceloteh ria. Saat mereka tertawa, aku tak sadar juga ikut tersenyum. Mungkin mereka sadar bahwa hal itu tak akan terjadi lagi nanti jika mereka sudah lulus.

Aku menyusuri koridor bersama Syfa dan Ardan. Mereka juga sedang bercengkrama, namun aku tak begitu memperhatikan apa yang mereka kini bicarakan.

Lalu pandanganku beralih pada satu sosok yang sangat kukenal. Lelaki dengan tahi lalat diatas bibirnya. Melihatnya tengah bermain basket, aku tersenyum lagi.

Entahlah, melihatnya memainkan benda bulat itu ditambah peluh di dahinya, membuat Kak Agam tampak menawan.

"Ini anak satu cengar cengir nggak jelas, kenapa lo? Kesambet?"

Tangan Ardan membekap wajahku, menghalangi pandanganku pada Kak Agam. Dengan agak memaksa aku melepas tangan besar Ardan.

"Karena aku bahagia, aden. Jadi ya senyum."

Syfa dan Ardan ikut melihat apa yang ku pandangi barusan, karena penasaran. Tidak biasanya aku seperti ini. Syfa menghela nafasnya, sementara Ardan diam saja.

"Cuma lihat aja bisa bahagia, gimana kalau beneran dekat." sahut Syfa.

"Iya, setuju gue. Yah, walaupun agak ragu juga sih, Al. Belum sepenuhnya yakin kalau dia nggak bikin kecewa lo." kali ini Ardan yang bersuara.

"Kalian nggak usah mulai deh ngomporin aku buat deketin Kak Agam." ucapku singkat.

Ardan dan Syfa tergelak. Saling melempar pandang satu sama lain. Sementara kami masih terus melangkah.

"Gini ya kalau aku deketin dia duluan, namanya jatuhin harga diri tahu nggak. Cewek kan takdirnya dikejar, lah ini kok malah mengejar."

"Emansipasi kali."

"Itu beda cerita aden. Emansipasi itu yang mencetuskan R.A Kartini bukan. Nah beliau itu melakukan emansipasi untuk membebaskan Indonesia dari yang namanya penjajahan. Kalau aku melakukan emansipasi, memang aku lagi dijajah? Enggak kan?"

"Lo lagi dijajah kali, lo nya aja yang belum sadar."

"Dijajah sama siapa?"

"Hati lo lagi dijajah sama cinta. Jadi lo harus bisa merdekain hati lo dari penjajahan yang dilakukan cinta," ucap Syfa.

"Dan hati lo bakal bisa merdeka kalau lo udah melakukan proklamasi cinta sama Agam," tambah Ardan.

"Dengan apa coba proklamasiinnya?"

"Pacaran," ucap Syfa dan Ardan serentak.

"Nggak! Aku nggak mau pacaran. Malu tahu sama hijab yang setiap hari kupakai kalau aku melakukan hal itu."

Ardan dan Syfa menghela nafas. Untuk yang satu ini, memang aku memegang teguh. Bahkan di dinding kamarku kutulis "Pacaran : Merusak Diri". Mungkin terdengar aneh bagi Ardan dan Syfa. Tapi aku tidak mempedulikannya. Toh, ada benarnya juga.

"Lo masih tetap menganggap pacaran merusak diri, Al?" tanya Ardan.

Aku mengangguk mantap,"Kalau memang suka ya nggak harus dengan pacaran juga. Langsung lamar saja."

Sebuah jitakan mendarat dikepalaku. Terima kasih Syfa atas jitakannya. "Kejauhan amat mikirnya. Kita masih SMA lho ini, udah mikir tentang lamar-lamar saja."

"Lagian nglamar anak orang itu nggak gampang kali, Al," gantian Ardan yang berkomentar.

"Terus kalau nglamar anak orang sulit, pacaran bisa dijadiin alasan? Nih ya, kalian tahu dong apa resiko pacaran itu. Resiko paling ringannya, orang lain bakal tahu kalau kita itu BEKAS orang lain. Dan resiko paling buruknya HAMIL DILUAR NIKAH."

Aku masih melanjutkan ucapanku,"Lalu siapa yang rugi? Kita juga. Beda kalau langsung dilamar, udah jelas mau berkomitmen."

Tanpa kusadari Syfa dan Ardan menuntunku ke lapangan basket. Mereka sengaja mengajakku berdebat untuk mengalihkan perhatianku. Sampai kami duduk di salah satu bangku, dan Ardan pergi ke kantin untuk membeli air mineral, aku masih belum sadar.

"Pacaran juga ada komitmennya kali, Al. Lagian kalau pacarannya positif nggak masalah."

"Positif berarti hamil dong, Syf. Komitmen apaan coba, yang kalau udah bosan bisa diputusin. Atau kalau nggak puas, bisa cari yang lain. Heran aku tuh sama yang kayak gitu."

Aku mengambil nafas bersamaan Ardan yang datang membawa air mineral.

"Kalau itu sih tergantung yang ngejalanin kali, Al."

"Kalau kamu sama Kak Zidan gimana? Poaitif pacarannya?"

"Iya lah."

"Menurutku bisa dikatakan positif tanpa kontak fisik. Bukannya kamu selalu gandengan tangan, terus aku juga pernah lihat pipi kamu dikecup sama dia."

Okey, mungkin ini agak kurang ajar karena menyangkut masalah pribadi Syfa. Tapi ini dia juga yang mancing, jadi aku tak ambil pusing.

Wajahnya tampak memerah. Entahlah, merah karena malu atau menahan marah. Syfa menggigit bibirnya.

"Terserah lo deh, Al. Gue pulang dulu, bye."

Aku melongo. Aku salah bicarakah?

"Dia nggak marah kan, Dan?"

Ardan menghendikkan bahu,"Sudah biarin aja. Dia nggak bakal marah juga."

"Semoga saja."

"Ya sudah, gue cabut juga. Mau tidur, ngantuk nih."

Aku mengangguk. Kubuka air mineral yang tadi dibawa Ardan. Aku melipat dahiku. Kenapa ada dua?

"Hai, Al. Tumben di sini."

Mendengar suara bariton itu, aku tersentak. Seketika aku tersadar dimana aku sekarang.

"Ardan, Syfa, terkutuklah kalian!"

***

6 April 2019
Poetrysanty

MalikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang