Tiga

24 3 0
                                    

Aku selalu menunggu beberapa kesempatan.
Yang pertama kesempatan mengenalmu

***

Mister i

Hati-hati dengan hati. Terkadang luka tiba tanpa menyapa hingga sulit mendapat penawarnya.

"Maksudnya apa sih!?" Aku spontan berteriak begitu membaca pesan dari seseorang yang kuberi nama mister i di kontakku.

Ayah yang sedang mengemudi sempat berjingat, kaget. Aku melupakan keberadaan ayah di sampingku. "Kenapa sayang?"

"Eh... Enggak kenapa-kenapa yah," aku meringis.

Untung saja ayah tidak melanjutkan pertanyaannya. Beliau kembali fokus mengemudikan mobil.

Jalanan cukup sepi hari ini, karena memang sudah sangat sore. Awan hitam mulai tampak di ujung jalan. Angin menerpa kulitku, menimbulkan hawa dingin. Aku menurunkan suhu AC untuk mengurangi rasa dingin.

Lampu merah di persimpangan jalan menghentikan laju mobil yang kami kendarai. Hanya ada dua kendaraan yang berhenti. Mobil ayah dan sebuah sepeda motor.

Sepeda motor itu dikendarai oleh seorang ibu paruh baya dan seorang gadis seusiaku. Gadis itu tengah membonceng ibunya dengan cara menyamping.

Kepalanya di sandarkan di punggung sang ibu. Matanya tampak sayu dan bibirnya pucat. Tangan si gadis itu ia lingkarkan di perut sang ibu. Sementara sang ibu memegang erat tangan si gadis.

Belum sempat aku memperhatikan lebih detail wajah sang ibu, lampu hijau sudah menyala. Membuat mobil ayah berjalan meninggalkan mereka.

Aku terus melihat motor itu sampai tak terlihat. Aku memilin jariku. Menunduk. Menahan sesuatu yang siap jatuh di pelupuk mataku.

Kejadian itu membuatku rindu akan suatu hal. Aku rindu ibu. Entah kapan terakhir aku menerima perlakuan seperti itu dari ibu.

"Itu di depan ada apa ya?"

Suara ayah membuatku segera mengusir rasa itu. Aku segera mengangkat wajahku. Melihat sesuatu yang cukup jauh di depan.

Di sana tampak banyak sekali motor menghadap kami. Wajah mereka begitu garang. Seolah memendam sebuah dendam kepada kami. Untungnya mereka tidak ada yang membawa senjata tajam.

Tapi untuk apa mereka menghadang kami? Apakah mereka rekan bisnis ayah yang berniat mencelakakan kami?

Ah, tidak. Aku segera mengusir pikiran itu. Lalu siapa mereka?

Belum selesai aku mengusir pikiran buruk itu dari benakku, terdengar deru motor yang bersahutan di belakang kami. Sebuah rombongan yang kurang lebih sama seperti yang ada di depan kami.

Berarti rombongan di depan kami sedang menunggu lawannya di belakang kami. Aku menyadari sesuatu yang akan terjadi.

"Ayah, di belakang juga ada yang kayak gitu!" aku berseru panik kepada ayah.

"Malika, tenang nak."

"Tenang gimana ayah? Kita terjebak di antara orang yang mau berantem!"

MalikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang