Kesempatan kedua yang kunanti
Kesempatan untuk berbincang denganmu***
Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Di luar gerimis disertai kilat petir yang menyala. Hawa dingin menerpa membuat keadaan menjadi sempurna, menakutkan. Kini aku berada di ruang tamu. Menanti ayah pulang. Entahlah, aku mengkhawatirkannya. Tidak biasanya ayah pulang selarut ini.
Aku beranjak ke dapur sekedar membuat teh untuk menghangatkan tubuhku. Selesai membuat teh aku kembali ke ruang tamu. Mengambil beberapa buku pelajaran untuk mengalihkan rasa khawatirku.
Satu jam berlalu. Sekarang sudah jam sepuluh malam, dan ayah belum menampakkan tanda-tanda kedatangannya. Aku meraih ponselku, mencoba menghubunginya.
Aku tersenyum, panggilan itu tersambung. Namun tidak ada jawaban dari ayah. Aku menghembuskan nafas. Diluar gerimis telah berubah menjadi hujan ditambah angin yang cukup kencang.
Aku memejamkan mata. Merapal doa untuk keselamatan ayah. Cukup lama aku terdiam. Pelan tapi pasti, mataku terasa berat.
Assolatukhairumminanna'um
Samar aku mendengar adzan subuh. Mataku ingin membuka, tapi terasa berat.
Allahu Akbar Allahu Akbar
Aku cukup terganggu dengan suara itu. Tetapi aku masih takut pada Tuhan. Takut jika Ia marah dan enggan memberikan pertolongan-Nya padaku kelak. Jadilah aku membuka mataku untuk menunaikan kewajibanku.
Aku melihat sekelilingku. Aku masih di ruang tamu. Jam menunjukkan pukul empat pagi.
Ceklek
Suara pintu yang terbuka menghentikan langkahku. Ku tunggu siapa yang datang. Aku sudah mengambil buku paket, bersiap menyambut orang itu. Cukup kaget melihat siapa yang datang pagi-pagi buta begini. Namun aku bisa bernafas lega, setidaknya bukan orang berbahaya sepeti dugaanku.
"Ayah kok baru pulang?" tanyaku spontan.
Wajah ayah tampak lelah, namun beliau tetap menunjukkan senyumnya padaku. "Tadi ada proyek yang harus ayah kerjakan sayang. Kok Lika ada disini?"
"Lika khawatir sama ayah. Semalam hujannya cukup deras dan ayah belum pulang. Lika telfon ayah, tapi nggak ayah angkat."
"Maafin ayah, ayah dikejar deadline. Kayak Lika kalau lagi ulangan, waktunya sudah mau habis tapi masih ada yang belum dijawab." Ayah mencoba menjelaskan.
"Iya ayah enggak masalah." jawabku singkat. Aku dan ayah berjalan menuju lantai dua. Ke kamar kami masing-masing.
"Tumben Lika nungguin ayah. Biasanya juga sudah mager di kamar?"
"Ehm... Anu yah," aku menengguk ludah,"Mau minta tanda tangan ayah."
Aku berkata lirih. Berharap ayah mendengar dan tidak tersinggung dengan ucapanku.
Aku melihat raut wajah ayah berubah. Senyum hangatnya menghilang, berganti dengan kesedihan atau rasa bersalah.
"Nanti sambil sarapan ya sayang. Ayah mau istirahat sebentar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Malika
Teen FictionMalika tak dapat memungkiri pesona yang dimiliki oleh Abqari Agam Alger. Seorang anak basket yang beberapa kali mewakili sekolahnya di olimpiade matematika. Namun meskipun ia memiliki perasaan lebih kepada kakak kelasnya itu, ia tidak berani mengung...