Lima belas

14 0 0
                                    

Cinta memang lucu
Kamu yang tak tersentuh olehku
Pelahan menggenggamku
Membuatku yakin, bahwa aku benar-benar tak salah meletakkan hati padamu

***

Gemuruh itu nyata menggema di dadaku. Tanganku dingin, lidahku kelu. Tak mampu menjawab satu pertanyaan yang diajukan oleh Kak Agam.

Kulirik arah kepergian Ardan, dia sudah tak terlihat. Mau tak mau aku harus menghadapinya seorang diri. Satu hal yang tak kusadari saat ini, bahwa ini adalah awal dari konspirasi yang dilakukan Ardan dan Syfa untuk membuatku dekat dengan Kak Agam.

"Malika, kok tumben ada disini?"

Tak kunjung mendapat jawaban, dia mengulangi lagi pertanyaannya. Aku menelan ludah. Bingung ingin menjawab apa.

"Ehm, itu kak... Tadi rencananya mau nunggu jemputan tapi malah dibelokin Ardan sama Syfa kesini."

Kak Agam menaikkan satu alisnya. Tanpa permisi ia duduk di sampingku. Ia menatapku yang tengah menunduk. Malu. Kupilin ujung hijabku. Sambil beristighfar dalam hati.

"Oh, air mineral itu buat gue ya."

Permintaan Kak Agam membuatku seketika mengangkat wajahku. Bersamaan dengan Kak Agam yang kini meraih air mineral di sampingku. Aku mengerutkan kening. Mengapa air mineral itu ada dua.

"Makasih ya airnya."

Sebelum Kak Agam berfikir yang bukan-bukan, aku segera mengangkat suara,"Kak itu sebenarnya punya Ardan. Bukan punyaku."

Kak Agam menghela nafas,"Bukannya Ardan harus cepat-cepat pulang ya, Al. Soalnya tadi dia pamit ke gue gitu."

Aku melongo. Kok aneh ya. Aku sudah ingin bersuara namun ponselku berdering. Nama ayah tertera disana. Tak membuang waktu, aku mengangkat panggilan itu.

"Assalammualaikum," sapaku.

"Waalaikumsalam, sayang kayaknya Mang Mamat hari ini nggak bisa jemput. Kamu pulang sama Ardan dulu nggak masalah kan?"

"Memang Mang Mamat kemana, yah? Ardan sudah pulang tuh. Syfa juga sudah bareng Kak Zidan."

"Memang kamu nggak punya teman lain selain mereka? Atau naik angkutan umum saja, gimana sayang? Mang Mamat lagi sama ayah. Mobil ayah mogok."

"Enak saja. Temanku banyak kali, yah. Iya deh iya, aku naik angkutan umum. Ya sudah ya, wassalammualaikum."

Tanpa menunggu jawaban ayah, aku memutuskan panggilan itu. Aku menghela nafas, lantas menenggak air mineralku. Tanpa kusadari Kak Agam dari tadi memperhatikanku.

"Ada masalah?"

"Enggak kok kak."

"Nggak ada masalah tapi mukanya ditekuk gitu. Jadi jelek tuh mukannya."

Ah, atau aku minta Kak Agam mengantarku saja ya. Tetapi aku kan cewek, masak iya minta cowok nganterin. Aku menggelengkan kepalaku. Berusaha mengenyahkan pemikiran itu.

"Malika, are you okay?"

"Iya kak. Nggak aku nggak kenapa-kenapa kok. Cuma masalah kecil, sopirku nggak bisa jemput dan ayah minta aku buat naik angkutan umum."

"Gue anterin gimana?"

"Eh?"

"Gue nggak nerima penolakan ngomong-ngomong."

Aku hanya mengangguk singkat. Kemudian Kak Agam pamit untuk ganti. Tak sampai sepuluh menit dia sudah sampai ditempatku menunggu. Aku segera mengekorinya menuju parkiran.

Di sana hanya ada beberapa motor yang masih terparkir. Bisa dihitung dengan jari jumlahnya. Namun motor hitam milik Kak Agam langsung menjadi perhatianku.

Motor yang sama dengan yang dipakai anak-anak geng motor beberapa waktu silam. Kak Agam menyerahkan jaket hitam dan helm padaku. Aku sempat terpaku melihatnya. Bingung.

"Biar nggak kena asap kendaraan baju lo. Nanti baunya asem lagi."

Aku tersenyum lantas menerimanya. Segera kupakai jaket itu. Kebesaran. Aku jadi terlihat lucu.

Begitu selesai memakainya, aku langsung naik. Tak lupa ia membantuku, karena motornya sungguh tinggi untuk ukuranku.

Motor melaju meninggalkan parkiran. Tak ada yang mengeluarkan suara. Hingga sampai di sebuah belokan, Kak Agam salah mengambil arah. Aku menepuk jidat. Tentu saja dia salah, dia saja belum tahu rumahku.

"Kak, tadi harusnya belok kanan, bukan lurus."

"Gue tahu, lo temenin gue bentar ya. Beli sesuatu buat adik gue."

Aku mengangguk takzim. Kusimpan pertanyaan untuknya. Tak ingin mengganggu konsentrasinya. Hingga sampailah kami di sebuah toko dengan nama melody. Aku tahu toko ini. Tak ingin membuang waktu, kami melangkah masuk.

"Lo suka musik kan ya, Al."

"Eh, iya. Kakak tahu dari mana?"

"Ada... Gue boleh minta tolong, bantu gue pilihin gitar buat adik gue. Biar dia nggak rusuh sama gitar gue. Gue bisa sih minta tolong Akmal, cuma dia lagi sibuk akhir-akhir ini. Karena gue nganterin lo hari ini, sekalian saja."

"Bukannya kakak nggak nerima penolakan. Jadi dari pada nanti aku nggak dipulangin, aku bantuin."

Kak Agam tersenyum, seraya menepuk pelan kepalaku. Aku teringat tentang masalah belokan tadi. Sambil melihat-lihat gitar di sana, aku memberanikan diri bertanya.

"Kakak memang sudah tahu rumahku?"

"Sudah."

"Tahu dari mana?"

"Dari sumber terpercaya."

"Kakak stalking ya?"

"Enggak. Cuma ada orang yang dengan senang hati ngasih tahu gue. Jadi gue nggak perlu repot-repot buat nyari tahu. Lo keberatan?"

"Enggak kok kak."

Lama memilah, aku menyarankan sebuah gitar dengan warna abu-abu. Karena aku tidak tahu, adik Kak Agam cowok atau cewek. Dan aku juga enggan bertanya.

Selesai membayar kami pun pulang. Benar saja, tanpa kuberi instruksi Kak Agam sudah tahu rumahku.

"Ini kak helm sama jaketnya. Makasih ya sudah diantar. Kakak mau mampir?"

"Sama-sama. Nggak kayaknya. Gue harus cepat pulang. Mau ada kumpul sama anak-anak motor."

"Ya sudah kak, hati-hati."

Kak Agam lalu menghidupkan motornya. Ia meninggalkanku setelah berucap,"Mulai besok nggak usah diantar sopir. Gue jemput. Satu lagi, besok malam jam tujuh gue jemput."

Aku menepuk pipiku untuk membangunkanku dari mimpi indah ini.

***

8 April 2019
Poetrysanty

MalikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang