Tujuh

15 0 0
                                    

Ketidaksengajaan yang menjadi keberuntungan... Atau kebuntungan?

***

"Assalammualaikum Raden Ayu Malika Bilqish Ardiningrum."

Langkahku sempat terhenti mendengar sapaan itu. Aku menoleh ke sumber suara. Seorang lelaki dengan tahi lalat di atas bibirnya tengah tersenyum kepadaku.

"Waalaikumsalam Kak Abqari Agam Alger."

Kak Agam mendahuluiku. Selalu begitu, sejak dia memberikan bimbingan belajar kepadaku beberapa hari lalu. Setiap pagi, ia menyapaku dengan sebutan 'raden ayu'. Hanya mengucap salam, lalu pergi.

Pasti Ardan yang memberitahu sebutan itu. Menyebalkan. Akan ku konfirmasi nanti padanya. Kalau aku tidak lupa tentunya.

Seperti biasa, aku menyempatkan diri berhenti di depan mading. Hari ini seharusnya madingnya sudah diupdate. Dan ya, memang begitu adanya. Mading sudah penuh dengan karya siswa. Termasuk cerbung milik Syfa. Kubaca sejenak cerita itu, lalu beralih pada karya yang lain.

Tetapi aku tak melihat gambar sketsa tempo hari. Mungkin, sang pembuat sketsa itu sedang banyak tugas. Jadi tidak sempat untuk membuatnya.

Puas melihat isi mading, kulangkahkan kakiku ke kelas. Di sana kulihat Ardan sudah duduk tenang di kursinya. Ia tampak sibuk dengan beberapa lembar kertas A4 yang dipenuhi angka.

"Pagi aden, rajin benar. Pagi-pagi sudah ngapelin angka."

Aku berniat menggoda, tapi Ardan sedang dalam moderius. Ia hanya mendongak, lalu meletakkan telunjuknya di bibirnya, melanjutkan menghitung lagi.

Melihat itu, sebuah ide muncul di benakku. Aku meletakkan tasku di kursiku, lalu duduk di samping Ardan.

"Tadi aku lewat kafe impian, terus nggak sengaja lihat Zia di bonceng sama cowok."

Ardan menghentikan kegiatan menghitungnya. Dalam hati aku bersorak. Menanti sebuah kemenangan. Aku melanjutkan ucapanku.

"Terus Zia sempat ngobrol gitu sama si cowok. Sambil cekikikan pula. Kayaknya dia bahagiaaa gitu."

Ardan menoleh kepadaku. Wajahnya pias. Aku memasang raut prihatin.

"Lo ingat wajah cowok itu?"

Yeay, hatiku kembali bersorak. "Maaf, enggak ingat. Tapi aku ingat warna jaket sama helm yang dipakai sama cowok itu."

"Kayak apa emang, Al?" Ardan masih penasaran.

"Kayak... Eh aku nggak ingat. Ya udah aku mau ke kamar mandi dulu."

Aku berdiri, ingin pergi. Tapi Ardan menahan tanganku. Wajahnya mulai merah. Semerah hatinya yang kini terbakar cemburu. Haha, kena kamu.

"Lo sepupu gue bukan sih, Al? Sekali-sekali bantuin gue bisa kan? Gue aja mau bantuin lo supaya bisa kenal sama Agam. Orang yang lo kagumi sejak dulu." Ardan menepuk dahinya, merasa keceplosan.

Aku menatapnya tajam, "Sudah berapa kali aku bilang ke kamu, Dan. Aku nggak perlu kamu gituin. Aku tebak, kamu juga kan yang kasih tahu dia soal panggilan 'raden ayu'? Kita bertiga udah sepakat bukan, kalau panggilan itu hanya untuk kita bertiga."

"Heran gue sama lo, kenapa harus nolak buat dekat dengan Agam. Harusnya lo senang."

Ardan belum selesai bicara. Ia masih menatapku nyalang. "Lo selalu bilang sama gue buat ngejar Zia. Sedangkan lo sendiri, enggan dekat dengan Agam."

"Karena aku nggak mau ngecewain dia, Dan."

Aku berkata dengan intonasi biasa. Aku melepaskan tangan Ardan dari tanganku, lalu pergi. Dua langkah kepergianku, aku berhenti. "Dan soal cowok yang nganterin Zia, jaketnya berwarna hitam dengan aksen hijau, helmnya juga hitam. Tulisannya, grab."

MalikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang