Chapter 9

5.8K 223 1
                                    

Pagi-pagi sekali Dian sudah memacu motor kesayangannya menuju kantor yang mengurusi masalah kepegawaian. Sebagai pegawai negeri, Dian sadar tidak mudah mengurus perceraian. Beberapa berkas memang sudah ia persiapkan sesuai dengan diskusi terakhirnya dengan pengacara yang akan membantunya.

Ia menunggu di lobi kepegawaian dengan semangat baru dan bertekad untuk lepas dari belenggu manusia kejam yang sudah menyiksa fisik dan psikisnya beberapa tahun belakangan ini. Kantor plat merah itu masih sepi, hanya terlihat beberapa pegawai yang hilir mudik. Padahal sudah jam sembilan, sudah menjadi kebiasaan sepertinya nongkrong di kantin selepas apel pagi. Dian tak perduli akan hal itu, baginya saat ini yang terpenting adalah urusannya lekas selesai. Ia tak ingin lebih lama lagi mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan Arya, pernikahannya telah usai.

Dian lekas menuju ruang administrasi setelah seorang pegawai memanggil namanya sesuai urutan. Wanita berjilbab coklat muda di belakang meja memandanginya dari atas sampai ke bawah. Seakan ingin menilai penampilan Dian.

"Jadi ini toh istrinya? Kok, tega, ya, selingkuh dari suaminya? Kadang begitu ya, Bu, kalau suaminya baik, eh, malah istrinya yang macem-macem," sindirnya yang diaminkan oleh rekannya yang tak kalah sinis mencibir.

Seolah sudah direncanakan adegan ini, mereka serempak menatap Dian sinis. Dian langsung sadar, para pegawai di ruangan itu memang terang-terangan ingin menyindirnya. Mereka sengaja berbicara dengan sedikit lantang, seakan memberi penekanan pada kata-katanya. Padahal, kenal saja tidak. Baru kali ini Dian bertemu wajah-wajah ini, tentu saja ia merasa aneh dihakimi tanpa mengenal satupun orang yang mencelanya itu.

"Berkas Anda sudah kami terima, suami Anda yang mengurus semua. Surat untuk ke PA juga sudah diurusnya. Kurang enak apa coba?" sindirnya lagi.

Dian sekarang mengerti kenapa para ibu-ibu ini menyindirnya. Pastilah laki-laki itu sudah mengarang cerita bak drama sinetron di sini. Dengan modal tampangnya yang memang tampan kharismatik, dibubuhi kemampuan berlakon seolah menjadi korban, semua ibu-ibu genit di ruangan ini pasti langsung terhipnotis. Simpati pun mengalir untuk seorang pria yang akan ditinggalkan istrinya, cerita versinya.

Dian menghela napas, rupanya begini cara yang dirancang oleh Arya, menempatkan Dian di posisi yang salah.

"Oh, begitu. Baik, Bu, terima kasih. Maaf, apa boleh saya melihat salinan laporannya?"

Tiba-tiba saja Dian jadi penasaran, kebohongan apa yang mengisi laporan yang dibuat Arya dalam arsipnya. Setidaknya ia mendapat skenario versi lengkap buatan Arya.

"Maaf tidak bisa!" jawab si Ibu ketus.

Dian mulai kesal.

"Tapi kan saya juga berhak tau, Bu!"

Kali ini Dian tidak mau kalah, ia berdiri dan menantang ibu itu. Bagaimanapun adalah haknya mengetahui isi dokumen yang dibuat oleh Arya, calon mantan suaminya.

Melihat sikap perlawanan yang dilakukan Dian, si Ibu mulai ciut. Ia sepertinya juga tidak ingin ada keributan di pagi ini.

"Saya hanya punya salinannya!" jawabnya dengan nada sedikit melunak.

Ia lalu mengambil satu file dari lacinya dan menyerahkan berkas bersampul map coklat pada Dian. Dian lekas membuka map tersebut. Ada surat permohonan, foto kopi surat nikah, dan sudah dilabeli sebagai berkas lengkap. Dengan keterangan laporan penyebab perceraian yaitu perselingkuhan dari sang istri.

Dian juga semakin terkejut saat membaca lembar demi lembar di tangannya. Rupanya firasatnya benar, Arya sudah memanipulasi semua berkas. Pria itu sungguh membuat semuanya menjadi sulit untuk Dian. Fitnah yang ia sodorkan tidak main-main. Bukti terlampir di bagian belakang. Daftar percakapan Dian dan teman semasa kecilnya, Iyan–yang menjadi pria perusak hubungan mereka. Sebuah foto dari masa lalu menjadi bukti pendukung semua ceritanya itu. Padahal Arya tahu betul, itu hanya foto sebelum ia dan Arya bersama. Entah bagaimana pria itu menemukannya, yang jelas semua tuduhan itu tidak benar.

Dian mengembalikan berkas itu dengan perasaan campur aduk. Ia kesal dan geram dengan apa yang dilakukan Arya. Pria itu rupanya sudah matang mempersiapkan jebakan untuknya. Ia harus memikirkan cara untuk melawan lelaki itu. Karena yang paling ia khawatirkan dari semua berkas itu adalah Kayla.

Dian menghubungi kantor lembaga bantuan hukum di mana ia pernah meminta bantuan. Sang pengacara, Mas Agus menyuruh Dian untuk mengikuti saja prosedur yang di buat oleh Arya. Sementara mereka akan membuat berkas pembelaan dengan bukti yang sudah mulai dikumpulkan.

Meski ragu akan berhasil, Dian menyetujui usul Mas Agus. Saat ini belum ada cara lain untuk melawan. Ia hanya berharap segera lepas dari Arya, dan hak asuh Kayla berada ditangannya. Tidak masalah jika ia harus menjadi single parent. Toh, selama ini ia juga sendirian membesarkan Kayla.

Setelah selesai berurusan dengan pengacara, ia pun menghubungi Iyan. Ia ingin mengetahui dengan pasti bagaimana chat dan foto mereka bisa diakses oleh Arya. Akun media sosialnya sudah tidak aktif beberapa hari ini. Dian yakin kalau Arya pelakunya. Sudah lama Arya meng-hack akun-akun miliknya.

Dian pun menghubungi nomor ponsel Iyan.

"Hallo Iyan, ini aku, Dian," sapanya..

Ia sudah mengganti nomor ponselnya dengan yang baru. Sebelumnya Iyan memang memberikan pesan melalui nomor Tifa.

"Dian? Kamu nggak kenapa-kenapa kan? Ya Tuhan! Apa-apaan ini?!" Iyan terdengar sangat gusar.

"Aku ... baik. Maksudnya?" tanya Dian bingung.

Suara Iyan terdengar panik dan tergesa-gesa.

"Suami kamu telpon aku, ngancam aku, ngancam bunuh kamu. Katanya kamu sekarang lagi sekarat di rumah sakit. Ini aku udah nyampe di bandara tau gak? Ah, gila! Ini sudah sangat gila!" rutuknya.

"Apa? Astagfirullah. Iyan. Maaf, aku sudah menyeretmu sejauh ini. Kalau gitu sekarang kamu naik taksi, nanti aku kirim alamat tempat kita bisa bertemu. Aku jalan kesana sekarang!"

Dian memutuskan untuk berbicara langsung dengan Iyan. Masalah ini sepertinya sudah berlarut-larut. Banyak pihak yang mau tidak mau ikut terseret. Dian benar-benar merasa tidak enak hati dengan Iyan. Pria itu sampai harus menyusulnya ke kota ini.

"Oke, hati-hati kamunya," ujarnya sebelum menutup telepon.

Suaranya kini terdengar lebih tenang. Ada sedikit rasa hangat di hati Dian yang pernah muncul dahulu sekali. Perhatian dari Iyan malah membuatnya terluka. Ia makin merasa bersalah karena telah menyeret pria itu ke dalam masalah rumah tangganya. Sikap Iyan seakan menegaskan kalau perasaan pria yang pernah hadir di hidupnya itu tak berubah. Iyan masih sangat perduli dan khawatir akan keadaan sahabat sejak kecilnya itu.

Hal itu lah yang membuat perasaan bersalah kembali menghantui Dian. Kalau saja waktu itu ia tetap menunggu Iyan kembali. Mungkin saat ini ia tidak tersakiti. Terkadang penyesalan menjadi tempat pelarian dari kenyataan yang jauh dari harapan.

Enough! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang