Chapter 14

5.4K 226 0
                                    

Malam semakin kelam dan pekat. Tak terasa waktu berlalu saat mereka mulai menikmati kedekatan yang mulai terjalin. Membicarakan rahasia hati memang menjadi cara ampuh untuk merekatkan sebuah hubungan. Meskipun pada awalnya mereka hanya terikat secara profesi, kini dua wanita itu bak sahabat lama yang saling peduli.

Safitri mengantarkan Dian pulang. Dian memilih menepi di dekat sebuah mini market 24 jam yang dekat dengan gang menuju rumah kosnya. Ia ingin membeli beberapa penganan untuk sarapan esok pagi. Ia harus menjemput ibunya yang datang. Jadi sebelum ibunya tiba, ia harus lekas menjemput ke bandara.

Dian melarang ibunya membawa Kayla. Walaupun sebenarnya ia tak dapat menahan rindu bertemu anak itu. Namun, Dian tak ingin Kayla menjadi alat bagi Arya untuk melemahkannya. Jadi untuk sementara Kayla dititipkan pada uwak Dian. Ibu Dian cerita, kalau Kayla juga sudah ikut belajar di sebuah taman kanak-kanak di dekat rumah uwaknya itu. Pasti anak itu tidak terlalu kesepian sekarang. Cucu uwak Dian yang seumur Kayla juga tinggal di sana. Kayla kini memiliki banyak teman. Sehingga ia bisa menerima ketidak hadiran ibunya di sana.

Setelah membeli beberapa roti dan susu, Dian meninggalkan minimarket dan menuju gang kecil yang menjadi jalan pintas ke rumah kosnya. Suasana malam itu cukup sepi. Biasanya masih ada beberapa orang mahasiswa yang hilir mudik di jalan ini. Namun, malam ini terasa sangat lengang. Membuat perasaan Dian menjadi was-was ketika melewatinya. Lampu jalan berkedip sesaat. Dari pada mengkhawatirkan hantu, Dian lebih takut pada sosok manusia. Terkadang manusia bahkan lebih mengerikan dari pada hantu.

Ia menarik napas lega saat melihat pagar kos-kosan. Namun, sesuatu yang tak terduga bisa saja terjadi begitu saja, bahkan ketika sudah merasa aman. Seseorang tiba-tiba saja muncul dari kegelapan. Sosok tinggi itu langsung menarik dan mencengkeram kerah baju Dian. Wanita itu bahkan tak sempat berteriak. Sosok itu membekap mulutnya sangat kuat.

"Teriaklah! Biar aku langsung putar lehermu hingga putus!" ancamnya.

Dibalik kekalutannya Dian sadar, ia mengenali suara dingin itu. Arya, pria itu kembali datang. Dian menuruti perintah lelaki itu untuk tidak berteriak. Ia tidak ingin mengambil risiko yang bisa mencelakakannya saat ini juga. Orang seperti Arya bisa saja melakukan hal yang mengerikan sekalipun. Setelah ia yakin wanita itu tidak melawan, ia pun melepaskannya perlahan.

"Mau apalagi kau mencariku?" tanya Dian ketus.

"Hehey ... Lihat Dianti Ariana ini. Dia sudah mulai berani rupanya," sindirnya sambil membelai pelan wajah wanita di hadapannya. Dian menepis tangan lancang pria itu dari wajahnya.

"Kenapa aku harus takut padamu? Kamu seharusnya malu karena telah menghancurkan hidupku!" Dian memberanikan diri mengungkapkan apa yang selama ini dirasakannya. Pria itu terlihat limbung. Mungkin saja saat ini ia sedang mabuk. Dian tak perduli, ia harus tahu kalau wanita itu jauh lebih kuat.

"Aku? Kau yang menghancurkan pernikahan kita dasar perempuan gila harta. Kau itu cuma ingin menguasai aku ya kan? Ha-ha-ha. Jangan mimpi!"

"Cih! Lagi-lagi otakmu sudah di cuci oleh ibumu. Wanita itu senang rupanya sudah membuat anaknya gila!"

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Dian. Wanita itu tidak siap, sehingga pukulan itu bergesekan dengan gigi serinya yang tajam. Menyisakan luka robek pada bibirnya. Darah segar keluar dari sudut bibir. Ia berusaha tenang dan menahan perih yang terasa hingga tulang pipinya.

"Jangan berani bawa-bawa ibuku! Kau bahkan tak pantas!" bentaknya.

"Tak pantas apa? Kau lupa? Aku juga seorang ibu, ibu dari anakmu!" Dian kembali melawan. Rasa kesal dan marah mulai menguasainya.

"Halah! Aku bahkan tak yakin dia anakku!" cetusnya asal. Dian terkesiap mendengarnya. Matanya memanas menahan kesal.

"Gila! Kau sudah benar-benar gila!" Dian menggeleng tak percaya. Lelaki di hadapannya itu semakin membuatnya jijik. Bisa-bisanya ia menuduh Kayla bukan darah dagingnya. Ia lupa bagaimana mereka sangat mendamba kehadiran anak itu.

"Ya, Dian, aku gila! Kau tau kan apa yang bisa orang gila lakukan padamu?"

Dian yang tak siap harus kembali menerima pukulan tinju dari lelaki itu. Ia terhuyung dan jatuh terlentang. Air mata yang sejak tadi tertahan kini mengalir deras. Antara sedih, kesal, dan menahan rasa sakit yang menjalar pada pelipis dan kepalanya.

"Aw," gumamnya.

"Sudah kubilang, pakai caraku! Jangan coba melawan! Jangan datang lagi ke persidangan atau kau dan ibumu menderita. Kau tau arti kata menderita bukan, Sayang?" Arya mendekat dan membelai rambut wanita itu. Lalu menarik rambut Dian dan menjambaknya dengan kasar.

"Tolong Arya. Lepaskan saja aku dan Kayla. Kau bisa hidup sesukamu. Lepaskan aku ...." Dian meraung. Pertahanannya roboh.

Saat ini ia hanya berharap masih adanya belas kasih yang tersisa dari pria yang pernah ia cintai itu. Dian masih berharap Arya mengingat Kayla. Bagaimanapun lelaki itu adalah ayah dari anaknya.

Mata mereka bertemu. Dian masih berharap ada Arya yang dikenalnya di sana. Pupil mata Arya semakin terlihat kelam dalam cahaya yang memang temaram. Air mata masih mengalir dari mata sayu milik Dian. Seakan mengirim sinyal untuk diberi ampunan.

Dalam sepersekian detik Arya terdiam dan menatap lekat wajah di hadapannya. Lalu pegangannya meregang. Tanpa diduga, ia melepaskan cengkeramannya. Melepaskan Dian yang kemudian tercampak kembali ke tanah. Lalu meninggalkannya begitu saja. Pria itu kemudian menghilang di balik kegelapan.

Dian masih terbaring di tanah. Menatap langit dengan pandangannya yang masih mengabur. Air mata rupanya masih enggan berhenti. Sesekali tubuhnya bergetar seiring isak tangis yang masih terus keluar dari mulutnya.

"Astagfirullah, Mbak. Kenapa?" Pak Man muncul dari pagar yang terbuka.

Lelaki itu baru saja hendak menggembok pintu pagar saat melihat sosok yang terbaring di jalan masuk.

"Mbak Dian? Mbak gak apa-apa?" tanyanya sambil membantu Dian berdiri.

Dian hanya mengangguk. Tubuhnya sebenarnya tidak sakit. Hatinya yang perih membuat ia enggan bangkit. Namun, ia juga tidak enak hati ketika Pak Man datang menemukannya. Ia sudah terlalu banyak membuat kehebohan warga kos ini.

"Kenapa Mbaknya baring di sini?" tanya Pak Man bingung.

"Gak pa-pa, Pak. Tadi saya agak pusing. Jadi terjatuh. Biasa, Pak. Darah rendah," kilahnya.

"Oalah, apa perlu saya antar ke rumah sakit, Mbak?" tanya Pak Man lagi.

"Gak perlu, Pak. Saya baik-baik aja, kok. Cuma butuh tidur," jawabnya.

Pak Man pun membantu Dian membawakan kantong belanjaannya yang terjatuh. Lalu menyusul masuk. Dian sempat melirik ke arah kegelapan yang menelan sosok Arya. Ada rasa kasihan yang mendadak muncul untuk sosok itu. Namun, segera ia tepis.

"Jangan percaya pada kegelapan. Kita tak pernah tahu sosok apa yang ada di baliknya," gumamnya.

Penasaran dengan kelanjutannya? Kuy pantengin di KBMapp ❤️❤️

Enough! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang