Chapter 10

5.5K 196 3
                                    

Dian bergegas menuju tempat janji bertemu dengan Iyan. Sebuah kafe yang letaknya cukup tersembunyi dari keramaian menjadi pilihannya. Ia menemukan tempat itu sebelum peristiwa penculikan terjadi. Testimoni tempat itu muncul di timeline seorang teman media sosialnya.

"Hidden gem di tengah kota," begitu ungkapnya.

Sebuah bangunan mirip rumah bergaya klasik yang sudah direnovasi menjadi kafe yang cukup unik. Nuansa arsitektur kolonial dengan interior asli yang banyak menggunakan kayu itu terlihat sangat cozzy. Pemilihan tempat ini bagi Dian sebenarnya lebih pada keamanan. Ia tidak ingin bertemu dengan Arya atau orang yang ia kenali di tempat ini. Isu perselingkuhannya akan dianggap nyata jika ia ditemukan sedang berduaan dengan Iyan.

Lonceng di pintu kayu itu berbunyi ketika ia masuk. Pandangan Dian berkeliling mencari pria itu. Iyan rupanya sudah duduk di sana, di meja dekat jendela. Sudah hampir satu dasawarsa mereka tidak bertemu. Pria itu terlihat makin tampan dan dewasa. Ada desiran yang tiba-tiba kembali muncul di hatinya. Sudah lama ia tidak merasakan perasaan seperti itu. Waktu membuat semua orang berubah. Namun, perubahan itu tampak sangat menguntungkan bagi Iyan. Dian berusaha menahan hatinya. Bisa saja semua itu adalah hasil dari perawatan seseorang. Dian yakin pria itu sudah ada pemiliknya.

Iyan yang tengah mengaduk cangkirnya kemudian mendongak dan menyadari kedatangan Dian. Pria bertubuh tinggi itu spontan berdiri dan melambaikan tangan ke arah Dian yang masih mematung di dekat pintu. Dian akhirnya mendekat, mereka pun sama-sama tersenyum.

"Hay, apa kabar?" sapa Dian saat berdiri di hadapan Iyan.

Ia lalu mengulurkan tangannya dengan canggung untuk mengajak Iyan bersalaman.

"Ah, sok formal kamu. Biasa juga langsung peluk."

Tanpa canggung Iyan langsung berdiri memeluk dan mencium pipi wanita di hadapannya.

Dian terkesiap dan mundur selangkah. Ia tidak menyangka akan mendapat aksi cepat dari Iyan. Ia menoleh ke belakang, khawatir jika ada yang ia kenal di tempat itu. Namun, cafe itu hanya punya satu pelanggan, yaitu Iyan. Jam seperti ini memang tidak banyak yang berkunjung ke kedai kopi.

"Apaan, sih. Sejak kapan? Ngarang! Modus kamu mah," cecarnya sambil mencubit pelan lengan Iyan.

Pria itu mengaduh pelan. Dian menunduk menyembunyikan wajahnya yang memanas. Ia lekas mengambil kursi di hadapan pria itu. Aroma maskulin dari lelaki di hadapannya masih bisa ia hirup. Wangi itu sukses membuat dadanya berdegup tak menentu.

Selanjutnya kecanggungan antara mereka pun mencair. Iyan menceritakan tentang bagaimana ia bisa sampai di kota ini. Arya kembali membajak akun media sosial Dian. Pria di hadapannya pun bercerita tentang nasib akun media sosialnya yang tak luput menjadi korban.

".... dan empat hari yang lalu, Fbku yang di hack orang. Untung aku ini mantan hacker. Eh, pas bisa dibuka, isinya sudah berubah semua, sial!" rutuknya.

"Wait, Jadi fb kamu juga dibajak? Udahku duga, pasti dia juga yang melakukannya," ujar Dian geram.

"Emang ada hubungan sama dia lagi?" tanya Iyan belum paham.

"Aku baru baca tadi pagi laporan yang dia buat dalam berkas pengajuan ceraiku. Ada bukti chat mesra kamu ama aku sebagai lampiran bukti. Padahal entah kapan kita chat seperti itu. Terus, foto kita berdua pas SMA, pasti dia yang buat semua skenarionya." Dian meremas serbet di tangannya dengan geram.

Apa yang dilakukan oleh Arya benar-benar telah dipersiapkannya dengan matang. Pria itu tak hanya memfitnahnya. Namun, juga meretas akun Iyan seolah-olah Iyan juga menanggapi obrolan mesum itu.

"Sial emang tuh orang. Ini udah gak bisa dibiarin!"

Iyan ikut tersulut emosi. Ia bangkit dari duduk dengan mengepalkan tangan.

"Iyan! Stop! Bagaimanapun ini masalah rumah tanggaku. Aku udah cukup ngerasa bersalah ngelibatin kamu disini. Please, jangan bikin ini tambah buruk."

Dian berusaha menahan Iyan. Ia tidak ingin terjadi keributan. Arya bukanlah pria yang waras. Calon mantan suaminya itu bisa saja melakukan hal gila pada Iyan. Dian tentu saja mencegah hal itu terjadi. Wanita itu sudah cukup malu melibatkan banyak orang dalam masalahnya.

"Kamu ... Akhhh ...." Iyan kembali duduk dengan kesal.

Ia harus menahan emosinya demi wanita di hadapannya itu. Seseorang dari masa lalu yang masih menjadi buah pikirnya hingga saat ini. Ada rasa penyesalan yang tidak akan pernah terhapus begitu saja.

"Iya, tau. Aku emang bodoh. Aku gak tau dia gila. Aku gak tau hidupku bakal hancur kayak gini. Aku bisa terima, Yan, tapi aku gak mau kamu juga terseret dalam masalahku. Kamu gak tau dia segila apa!"

Dian tidak dapat lagi menahan emosinya. Mata lentik itu kembali basah oleh air mata.

Iyan yang tadi terlihat emosi kini melunak saat melihat wanita di hadapannya berurai air mata. Hatinya ikut perih melihat Dian menangis pilu. Ia pun pindah duduk di samping Dian dan menepuk-nepuk bahu wanita itu. Dian pun merasa lebih tenang sekarang. Ia lekas menyeka air matanya.

"Thanks, Yan. Sebaiknya Kamu pulang aja. Kasian keluargamu, pasti mereka bingung kamu pergi kemana?" saran Dian.

Ia tidak ingin istri Iyan jadi salah paham nantinya. Sudah cukup ia dicap penghianat dalam berkas buatan Arya.

"Yang punya masalah itu kamu, Cil. Kenapa Kamu yang mikirin aku? Udahlah, sekarang Kamu pikirin aja cara ngadepin dia. Oh, iya, Kayla mana?" tanya Iyan kemudian.

"Tadi aku titipin dia ke pengasuhnya, abis dari sini baru mau aku jemput," jawab Dian.

"Oke, boleh aku ketemu dia dulu, gak? Baru abis itu aku pulang," pintanya.

Hati Dian mendadak hangat. Ia terharu mendengar Iyan menanyakan tentang Kayla. Bahkan ayah Kayla sendiri mungkin sudah tidak memikirkan anaknya lagi.

"Oke, aku jemput dia dulu. Ntar aku susul kamu ke bandara."

Dian memberikan senyum tulus pada teman kecilnya itu. Ia menghargai perhatian Iyan pada dirinya dan Kayla. Iyan mengusap kepala Dian, seolah wanita itu masihlah teman kecilnya yang manja.

Bunyi dering ponsel menghentikan langkah Dian saat mereka hendak keluar kafe. Nama Mbak Sari–pengasuh Kayla tertera di layarnya.

"Halo, Mbak. Kena ...."

"Kayla ... Dian. Duh, gimana ini ... Ya Allah ... Kayla ... Kayla hilang!" ujarnya terbata-bata memotong suara Dian.

Seketika perasaan Dian menjadi tidak menentu. Rasa panik tentu saja menyerangnya mendengar hal yang disampaikan Sari.

"Apa?" tanyanya lagi memastikan apa yang barusan di dengarnya.

"Kayla hilang!"

Enough! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang