👉Prolog

773 62 146
                                    

Awan hitam berbaur dengan angin menutupi cahaya bulan di atas sana, perlahan berubah menjadi gumpalan besar yang siap memuntahkan isinya kedalam bumi.

"Nin, udah mendung!" Anin cukup terkejut saat mendapati Leta telah berdiri didepannya. "Acaranya dipindahin ke dalam aula."

Namun, Anin tetap menahan langkahnya, tak menghiraukan perkataan Leta, "Gue mau cari dia dulu!"

"Dia gak akan da-"

"Dia datang, gue yakin kali ini dia akan datang!" sergah Anin cepat. Ia tak ingin kemungkinan buruk itu kembali menghantuinya.

"Tiga kali kita reuni sejak kelulusan lima tahun yang lalu, apa dia pernah datang? Apa yang masih lo harapin dari dia?" percakapan ini mulai memancing emosi Leta keluar.

"Gue bahkan belum minta maaf sama dia!" Anin memandang Leta sedikit tak percaya, "Ralat, bahkan kita belum minta maaf!"

"Anin! Leta! Ayo, buruan masuk, udah mau gerimis!" Sahut Dara dari ujung lapangan.

Melihat Anin dan Leta yang tetap tak berubah dari posisi awalnya, Dara tahu, ada sesuatu yang tidak beres terjadi di antara mereka.

"Nin, lo-"

"Kalian duluan aja, nanti gue nyusul kok. Gue mau cari dia!" Cepat-cepat Anin memotong Mika yang hendak angkat bicara.

Anin yang mulai bergerak menjauh, tiba-tiba menghentikan langkahnya, "Mika?" tanya Anin hati-hati, "lo lihat dia? Lo kan ... temannya." Anin sedikit ragu saat harus melanjutkan kalimatnya barusan.

Yang ditanya hanya bisa menghela napasnya berat, memalingkan wajahnya ke arah lain. Namun, tanpa disangka-sangka, matanya menangkap sosok yang mereka cari di area gedung SMA, "Nin ...."

Tanpa perlu mengeluarkan sepatah kata pun, Anin sudah mengerti maksud dari mimik wajah Mika, buru-buru ia berlari, menghampiri orang yang lima tahun terakhir selalu mengganggu pikirannya.

"Chantika?!"

...

Aku tersenyum simpul saat mata itu melihat ke arahku, sedikit terkejut.

"Chan?" Kini matanya terbuka lebih lebar, masih tak percaya akan keberadaanku.

"Hai, Ka Arvin!" Aku mengangkat tanganku tinggi-tinggi, melambaikannnya di udara. Namun, kegiatan itu terhenti ketika aku memutuskan mengambil langkah mendekati Arvin.

"Chantika?!" Langkahku terhenti. Suara itu, setelah lima tahun berlalu akhirnya aku mendengar lagi suara itu.

Demi melihat sang pemilik suara, ia berbalik, mengganti keterkejutannya dengan senyum manis, "Apa kabar, Anindira?"

...

"Mika, is that you? Lima tahun nggak ketemu dan banyak banget yang berubah dari kalian. Wah, gue ketinggalan banyak berita deh kayaknya. Hey look! Bahkan sekarang Dara mutusin buat potong rambut kesayangannya." Chantika berbicara dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Mika masih tak percaya, sahabat lamanya sedang berdiri dihadapannya, berbicara seakan-akan masa lalu kelam itu tak pernah terjadi.

"Lo ke mana aja?" Dara memutuskan angkat suara

Satu tetes air mata terjatuh di pipi Chantika. Buru-buru ia menghapus dan berusaha menyamarkan melalui tawa yang terdengar sumbang. "Hahaha ..., tiket penerbangan New York-Indonesia gak semurah roti kukus yang di jual Bu Siti dulu"

"Chan!"

"Udah lama banget, ya ... sejak kita lulus. Gue masih ingat banget pertama kali kita berinteraksi di kelas itu." Jari telunjuk Chantika terarah pada sebuah ruang kosong yang ada di lantai tiga. Sebuah kelas yang menjadi saksi bisu pertemuan pertama mereka.

...

-> GhibahWriters <-

ChantikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang