👉Marshmello

180 21 1
                                    

Yang kecil, tak selalu lemah. Dan yang besar, tak selamanya kuat.
-Chantika

***

Siang ini, aku sudah siap dengan baju olahragaku, berdiri di lapangan. Sendirian.

Sudah 20 menit sejak jam pelajaran berlangsung. Namun, hanya aku anak perempuan yang sudah siap menggunakan baju olahraga.

Sisanya? Tak usah di tanya lagi, pasti mereka sedang sibuk memoles wajahnya dengan berbagai macam make up.

Pak Dedi sudah sejak tadi mencak-mencak tak karuan, menunggu murid perempuan dengan tak sabaran.

Para murid laki-laki yang sedang bermain futsal menjadi sarana pelampiasan Pak Dedi pagi ini.

Ia memerintahkan para murid laki-laki bermain sepak bola menggunakan bola basket. Awalnya, mereka selalu memprotes, membuatku tak henti-hentinya tertawa.

Namun, lama kelamaan para laki-laki menikmatinya, melupakan rasa sakit yang hinggap di kaki mereka.

Butuh 30 menit. Akhirnya, para murid perempuan datang dengan kipas portable di tangan mereka masing-masing.

"Cepat anak-anak, baris per kelompok! Satu kelompok lima orang! Kita ak-"

Dengan tidak sopan, Anin memotong perkataan Pak Dedi, memprotes. "Yaah Pak, kan kita baru datang masa udah mau mulai aja sih?!"

"Kita akan melakukan lari estafet!" Pak Dedi tak peduli dengan protes Anin. Ia tetap melanjutkan kalimatnya yang sempat terpotong. "Siswi silakan berlari dulu dua keliling. Semuanya!" ucap Pak Dedi tegas.

"Sekarang!" Semua murid perempuan yang awalnya masih terdiam dengan malas, langsung berlari dengan kecepatan penuh. Menghindari amukan dahsyat Pak Dedi.

Aku yang merasa tak bersalah pun terpaksa ikut berlari, walaupun sedikit tertinggal di belakang. Itu lebih baik dibandingkan harus menanggung malu karena hukuman dari Pak Dedi yang terkenal dengan aneh.

Baru lima menit selesai berlari, Pak Dedi sudah menyuruh kami untuk berbaris. Bersiap melakukan lari estafet.

Entah kebetulan atau disengaja, kelompokku terdiri dari Anin, Leta, Dara dan ... Mika.

Aku berada dalam urutan pertama, berlari dengan membawa tongkat di tangan kananku.

Selama berlari, perasaanku tidak enak, seakan-akan kejadian buruk akan terjadi hari ini. Benar saja, saat giliran Anin yang berlari, aku menyerahkan tongkat itu ke arah Anin, tapi Anin malah kembali menyodorkan tongkat itu padaku.

"Gue tau lo pingin kurus, makanya lo harus lari lebih lama lagi, biar badan lo kempesan!" ujarnya dengan suara yang dilembut-lembutkan.

Mau tak mau aku kembali berlari satu putaran penuh. Dan sialnya, Leta melakukan hal yang sama.

Bahkan sebelum aku sampai, ia sudah menolakku dengan cara yang memalukan.

"Ayo, gendut! Semangat! Gue tau lo kepingin banget kurus biar doi lo cepet peka," teriak Leta dengan suara super besar, yang membuat semua orang menoleh penasaran, menertawakanku dengan puas.

"Berat badan lo yang 90 kilo itu harus diturunin. Minimal 30 kilo, biar gak susah lagi bedain antara lo sama gajah," entah kali ini suara siapa, yang pasti orang-orang di sekitar lapangan tertawa semakin keras. Bahkan orang-orang di lantai tiga dan dua telah menjadikanku tontonan menarik sejak tadi.

Aku hanya bisa memalingkan wajah dengan sebal.

Padahal kan berat badanku tak sampai 90 kilogram, hanya 86 kilogram.

Aku sekuat tenaga menahan tangis yang hampir pecah, menanggung malu yang hampir membuatku mati.

Tiba giliran Dara, aku tak melihat keberadaan dia sama sekali.

Aku terdiam sebentar, menetralkan napas sambil menunggu Dara. Sampai sebuah bentakan mampu menyadari kebodohanku.

"Heh, gembrot! Ngapain diem? Lari lagi sana! Gue gak mau tahu kalau sampai kelompok kita kalah cuman gara-gara lo cape!"

Aku melihat Dara sedang duduk menikmati minumannya sambil bermain handphone.

Dan, bodohnya aku. Aku malah melanjutkan berlari menggantikan posisi Dara. Mempertaruhkan harga diriku yang sudah hancur.

Lariku semakin melambat, tenagaku terkuras dengan cepat.

"Gembroot, ngapain diem bego?! Lanjutin larinya!" suara khas milik Anin menggema di tengah lapangan.

Kini, semakin banyak orang yang menjadikanku sebagai bahan tontonan.

Aku bingung, mengapa Pak Dedi tak menegur sikap semena-mena dari Anin. Kulihat sekilas ke pinggir lapang, tak ada Pak Dedi di sana.

Sampai giliran Mika untuk berlari, ia sudah siap di posisinya, menungguku datang.

Tapi aku tetap berlari, melewati Mika yang menatapku bingung.

Tapi apa boleh buat, aku sudah terlanjur kesal dengan semua orang di sini, apalagi tadi aku sempat melihat Mika bergabung dengan Anin dan yang lainnya.

Dasar muka dua!

Rasanya, kesadaranku hampir habis, teriknya matahari membuat keadaan semakin memburuk. Tapi kali ini tak ada super hero dadakan yang mau menolongku seperti kak Arvin dan kak Putra kemarin. Aku harus tetap berlari.

Akhirnya pelajaran olahraga telah usai. Aku melemaskan badan di kelas, berhubung bangku Ucup sudah lama kosong, aku mengangkat kakiku ke atas kursi.

Tiba-tiba ada botol air mineral terbang di depan mataku.

Eh, ternyata ada tangan mungil yang memegang botol itu. Aku yang masih kepanasan, rupanya berhalusinasi terlalu tinggi.

"Nih minum dulu! Muka lo merah banget" Mika menyodorkan botol itu padaku.

Aku hanya diam, mengalihkan pandangan ke sembarang arah, "Chan, maaf!"

Aku tetap diam. Kini, pandanganku teralihkan pada Mika sepenuhnya.

"Emh, Chan. Gue saranin lo jangan terlalu ngelawan dulu sama Anin, karena semakin lo lawan, semakin dia seneng gangguin lo!" Aku tahu maksud Mika baik, "Biarin aja dulu untuk sementara waktu."

Tapi... lama-kelamaan aku semakin tak setuju dengan arah pikir Mika. Bagaimana aku bisa diam saat harga diriku dipermainkan.

"Jadi, gue harus diam gituh? Walaupun harga diri gue dipermaluin di depan orang-orang?" tanyaku sarkas. Aku sungguh tak habis pikr dengan Mika.

"Bukan gitu maksud gue-"

"Mika, lo ngapain duduk di sana? Lo gak pengap gitu deket-deket orang gendut?" suara Leta menginterupsi percakapan kami berdua.

Aku kecewa saat Mika berdiri, memilih meninggalkanku sendirian.

Aku pikir kesialanku akan berakhir sampai sini. Tanpa aku ketahui, justru hal yang lebih buruk sedang menungguku di rumah.

Di rumah, mama menungguku pulang. Butuh lima jam lagi hingga aku tahu bahwa hal buruk telah benar-benar terjadi.

Semua itu berawal dari aku yang menemukan mama dalam keadaan tak sadarkan diri di kamar mandi.

ChantikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang